TOREH
Cerita
ini bukan fiktif, cerita ini fakta adanya, diambil dari pengalamanku sendiri. Cerita ini berawal sewaktu diriku dan teman-teman melaksanakan tugas Kuliah Kerja Lapangan (KKL), bagi para
pembaca yang pernah mengenyam di bangku kuliyah tentunya faham kegiatan-kegiatan
yang dilakukan disaat KKL, mengabdikan diri di masyarakat, tentunya sesuai
dengan disiplin ilmu yang kita ambil disaat kuliyah. Diwaktu itu kuliyahku di Jurusan Tarbiyah, Program Studi Pendidikan
Agama Islam Universitas Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak
yang sekarang berubah Status menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Pontianak. Dibenak kita semua, kalau
sudah mendengar atau membaca kata pendidikan, berarti tidak jauh-jauh dari
Guru. Heheh, anda benar, kala itu diriku dididik
untuk menjadi seorang Pendidik Agama Islam.
Singkat cerita, Pada tahun 2012 Semua
mahasiswa dan jurusan semester delapan ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan
KKL di wilayah Kabupaten Kubu Raya, tersebar merata di setiap kecamatan
Kabupaten Kubu Raya, tak terkecuali diriku, yang diberi tugas di Desa Madura
Kecamatan Teluk Pakedai. Hal yang paling membuat hati dan fikiran gelisah
adalah bagaimana cara berinteraksi sosial dengan masyarakat setempat, yang
notabene mereka menggunakan bahasa daerah. Tapi syukurlah diantara teman-teman
kelompok kami ada yang mengerti bahasa daerah tersebut.
Waktu itu semua mahasiswa dan setiap jurusan
yang berbeda dijadikan satu dalam tiap kelompok, artinya setiap kelompok
memiliki mahasiswa dari berbagai jurusan.
Di pagi yang cerah, kami berkumpul
guna mengikuti acara pelepasan mahasiswa KKL sekaligus mendengarkan
arahan-arahan dari Ketua Rektor Stain Pontianak. setelah acara tersebut
selesai, kamipun berkumpul bersama teman-teman jurusan dan akhirnya berpencar
dan mencari teman kelompok kami yang sudah ditentukan dari masing-masing
program studi. Mataku menari dikerumunan manusia mencari pelang yang
bertuliskan Kelompok Lima, dan pada
akhirnya aku dipertemukan… J … wajah baru, perangai
baru dan situasi baru dari teman-teman kelompok yang mengharuskanku untuk
semakin ramah dan menyapa mereka dengan senyuman. Berkenalan dan berjabat
tangan sembari saling mengenal antara satu dan yang lainnya. disaat berkenalan,
aku sedikit dikagetkan dengan seseorang, ternyata ada seseorang yang memang
sudahku kenal sewaktu mengenyam Pendidikan di Madrsah Aliyah dulu, dia adalah
Debi Fajriati, yang katanya juga menjadi salah satu anggota Forum Lingkar Pena
(FLP) Kalimantan Barat, kamipun tertawa, seakan tidak menyangka bahwa kami bisa
satu kelompok, kala itu Debi Fajriati utusan dari Program Studi Bahasa Arab,
kalau sudah urusan Arab-Arab dia Ratunya. J
Mataharipun
semakin menunjukkan jati dirinya, tak terasa waktu mendekati 09 : 30, akhirnya kamipun di instruksikan berangkat
menggunakan bus menuju pelabuhan Rasau Jaya. Disinilah semua kelompok
tersebar di berbagai daerah Kabupaten Kubu Raya. Kami kelompok lima dengan
menggunakan kendaraan air menuju lokasi tempat kami ditugaskan. Sesampainya kami
disana,
kami disambut dengan hangat oleh Aparatur Desa Madura, mereka menyambut kami
dengan baik, dan kamipun berjabat tangan dengan mereka tak terkecuali diriku
sambil tersenyum dan berkata “ nama
saya Rabudin pak”. Ia menjawab “engki” … saat itu aku tidak memikirkan apa
makna dari kata-kata itu , yang aku
pikirkan adalah “istirahat, istirahat,istirahat” . karena pada waktu itu
kondisi tubuh kurang fit, butuh istirahat. Ketika obrolan ringan antara
aparatur desa dan kami selesai, kamipun disuruh ke dapur untuk makan siang.
biasa lah, beda suku beda adat, beda adat maka beda pula kebisaaannya. kamipun
duduk lesehan di dapur dan berbaur bersama
keluarga tuan rumah, terasa enggan untuk mangambil makanan terlebih
dahulu, sambil menunggu instruksi dari tuan rumah, aku melihat dan berusaha untuk mengingat,
mengenal nama dan wajah teman baruku ini, tak lama kemudia, akhirnya tuan rumah
bersuara “ toreh, toreh”. Aku hanya faham isyarat tangan dan jari tuan rumah
dengan sedikit mengeluarkan ibu jarinya sembari sedikit membungkukkan bahunya
bahwa kami disuruh untuk mengambil makanan yang telah dihidangkan, aku dan
teman-temankupun makan.
Hari demi haripun berlalu tak terasa
kami semakin akrab dengan penduduk setempat. Kami saling sapa, bermain banyolan
banyolan akrab bak saudara yang lama terpisah. Pada suatu hari Pak Kades
mengajak kami untuk ziarah ke makam Isma’il Mundu, beliau adalah mufti
sekaligus ulama pada masanya. Kami pergi dipagi hari dan pulang di siang hari
disaat matahari seakan sejengkal dari kepala, rasa dahaga yang tak terobati
kecuali dengan air dingin yang kami rasakan. Sesampainya kami di penginapan,
kamipun berbaring
sejenak seraya menghilangkan
rasa lelah dan penat di kepala. Disaat kami istirahat, terdengar sayup-sayup
suara memanggil namaku… “diiiinnnn,,, rabudin, kawankan bapak melayat”. Agak
mengeluh sedikit sih, hatiku
bergumam “baru mau istirahat, malah diajak pergi lagi”. Aku berkata pada salah satu teman yang saat itu juga
berbaring disampingku “
yaaahhh,,,, diajak pergi lagi, mana cuaca panas, haus, lelah, yuk temani aku!!!” … temanku
menjawab “ ayooo , siapa tau kita melayat dapat air dingin“ sahutnya
dengan nada poloss. “ mudah-udahan aja” sahutku.
singkat
cerita, sesampaiku di rumah duka, kamipun duduk
disamping mayat yang terselubung kain batik, kira-kira sekitar jarak 3 meter
dari pembaringan . setelah membaca surat yasin dan tahlil, akupun diam sambil
mengheningkan cipta melihat suasana rumah yang begitu duka. Sesekali menelan
air liur yang seakan mongering kala itu.
Seiring berjalannya waktu, datanglah pemuda paruh
baya dengan segelas air dingin di tangannya, fikiranku memerintahkan hatiku untuk berkata
“Al hamdulillaah ada air dingin”, sedikit menoleh ke teman yang duduk
disampingku sembari memberi isyarat mata bahwa harapan kita terkabulkan.
Setidaknya air itu bisa
menghilangkan dahagaku tadi, air itupun tepat berdiri tegak di hadapanku, seakan-akan menyapa diriku yang lagi membutuhkannya.
Karena sungkan untuk minum, aku hanya bisa melihat air itu sembari bersabar
mendengar kata “toreh” yang kala itu aku beranggapan bahwa kata itu digunakan
disaat menghadapi makanan atau minuman.
Detik berganti menit, pemuka agama atau sering kita sebut dengan Kiyai
menyapa diriku dengan Bahasa Madura halus, yang aku sendiri tidak mengerti. Aku
hanya bisa menganguk-anguk dengan niat menghargai perkataan si Kiyai tadi,
temanku yang duduk disampingkupun hanya diam tertunduk disaat pak Kiyai
berbicara kepadaku. Padahal waktu itu, aku sangat berharap dia bisa
menterjemahkan apa yang dibicarakan pak kiyai kepadaku, karena kebetulan
temanku ini adalah orang yang mengerti bahasa Madura. Diakhir pembicaraan
Kiyai-pun ditutupi dengan kata “Toreh”. Aku beranggapan bahwa perkataan Kiyai
tadi mungkin pendahuluan untuk mempersilahkanku minum, karena aku mendengar
kata “toreh”, akupun minum, disaat air itu membasahi lidah dan kerongkonganku, seakan-akan
yang ada di dalam ruangan hanya diriku dan dirinya (air minum),hehhe... setelah
beberapa teguk dan kembali meletakkan gelas ke praduannya, seketika mata
pelayat yang ramai kala itu tertuju kepadaku, sembari bahu mereka bergerak,
tangan mereka menutupi mulut karena menahan tawa, dan saat itu reaksiku hanya membalas tawa mereka dengan senyum
polosku, setelah senyumku reda, kenapa mereka masih tertawa melihatku, Aku
terheran, “apa ada yang salah dengan cara minumku … ?” hatiku bergumam
!!!... saat itu penuh tanda tanya di fikiranku. Melihat tingkahku, seketika
temanku menyentuh lututku dan berbisik “ eh din, kau tu bukan disuruh
minum,” .. “terus aku disuruh apa sama pak Kiyai ? “ tanyaku dengan
nada penasaran, “kau tu disuruh mimpin shalat mayyit”... “eee, yang
benar lah” tanyaku, “ iya benar, ini serius” . Ternyata yang
dimaksudkan Kiyai dengan kata “Toreh” adalah diriku dipersilahkan untuk menjadi
Imam Shalat Mayyit.hahaha. saat itu duduk dan ekspresi mukaku sudah tak karuan,
rasanya ingin lari dan takkan pernah kembali ke tempat itu lagi. Aku melihat
pak kades yang kala itu duduk disamping pak kiyai juga menahan tawa sambil
sedikit menggeleng-gelengkan kepada melihat tingkah konyolku ini.
Kembaliku melihat wajah pak
kiyai yang penuh harap agar aku bisa memimpin shalat mayyit, aku berkata kepada
pak kiyai “ pak kiyai, mohon maaf pak, saya tidak bermaksud untuk membuat
suasana tawa, sekali lagi maaf pak”, sambil menahan rasa malu dan rasa
bersalah. Pak kiyai-pun menjawab dengan bahasa Indonesia yang berlogatkan
madura“ tidak apa-apa din, saya kira sampeyan orang Madura, bapak juga mohon
maaf, bapak harap rabudin bisa memimpin
shalat mayyit, kebetulan yang meninggal adalah keluarga bapak sendiri, untuk
ini bapak belum bisa memimpin shalat mayyit ditakutkan kurang khusyuk karena
sebab ditinggal mati keluarga bapak, toreh din dipimpin”. Ketika mendengar
pak kiyai mempersilahkanku untuk memimpin shalat mayyit, aku melihat baju
kemeja dan celana jeans-ku, rasanya tidak sopan bila memimpin shalat mayyit
dengan setelan santai seperti ini, disisi lain aku juga belum begitu mengerti
adat istiadat orang sini bila ditinggal mati keluarganya, fikiranku ada baiknya
aku menjadi makmum sambil mengamati keadaan sekitar, disaat ada orang lain yang
meninggal dan aku diminta untuk memimpin shalat mayyit, setidaknya diriku sudah
mengerti adat istiadatnya. Akupun berkata pada pak kiyai “ pak kiyai, mohon maaf,
bukannya saya tidak mau, dikarenakan saya masih baru di sini, belum faham
keadaan adat istiadat di sini, lagi pula pakaian saya juga kurang layak bila
memimpin shalat mayyit, ada baiknya orang yang sudah mengerti adat istiadat di
sini yang memimpin shalat mayyit, sekali lagi maaf pak kiyai”. Setelah
mendengar perkataanku, pak kiyai-pun mencari orang yang faham dan bisa memimpin
shalat mayyit, dikarenakan orang yang pak kiyai maksud belum datang, akhirnya
pak kiyai sendiri yang memimpin shalat mayyit. Dan kamipun menjadi
makmum.
Singkat cerita, setelah prosesi kematian selesai, aku dan temanku
beserta pak kades pun pulang ke tempat kami dengan menggunakan sepeda motor, di
sepanjang jalan meraka berdua tidak henti-hentinya menertawakan kekonyolahku
tadi, aku juga tertawa terbahak-bahak menertawakan diriku, kok bisa diriku
salah faham dengan kata “toreh”-nya pak kiyai tadi.
Sesampaiku di penginapan,
akupun berbaring, dan mengingat kejadian tadi sembari tertawa kecil, ilmu yang
aku dapatkan hari ini sangat dramatis, cukup dengan kata “toreh” membuat orang
tertawa. Dan ternyata cerita torehku ini tersebar luas dikalangan masyarakat
desa Madura, setiap aku menghadiri acara keislaman, seperti tahlilan, maulidan,
pengajian dan lain-lainya. dari kalangan anak-anak, bapak-bapak, ibu-ibu, jika
mereka mendengar kata toreh, pasti mata mereka mencari posisi dudukku dan
melihat diriku sambil tertawa mengatakan “toreh din”, responku juga tertawa
bersama jamaah dan menjawab “ toreh, toreh, toreeeeh”.
ternyata aku disadarkan dengan kesalahan
yang menurutku cukup dramatis .... intinya “Toreh” itu artinya “Silahkan”...
baik dalam hal apapun bisa digunakan. Pengalaman ini tak-kan pernah terlupakan.
Dengan pengalaman ini mengajarkanku bahwa betapa penting untuk mempelajari
bahasa, bahasa apapun itu perlu kita pelajari, tanpa terkecuali. Harapku agar
tidak ada lagi rabudin yang ke dua. THE END …..