Kekerasan Di Satuan Pendidikan Perspektif Pendidikan Agama Islam Multikultural
Oleh : Muhammad Rabuddin
A. PENDAHULUAN
Pendidikan anti kekerasan adalah suatu pendekatan progresif untuk
melakukan transformasi pendidikan yang secara menyeluruh membongkar kekurangan,
kegagalan dan praktik-praktik kekerasan dalam proses kehidupan multietnik.
Pendidikan anti kekerasan didasarkan pada gagasan untuk mengurangi skala
konflik yang bernuansa rasial dan menciptakan suatu kehidupan yang harmonis
dimasa yang akan datang. Oleh karena itu, pendidikan anti kekerasan seharusnya
dapat menjadi pendidikan alternative ditengah-tengah ketegangan sistem
pendidikan yang ada selama ini. Bahwa dengan pendidikan anti kekerasan akan
terfasilitasi proses belajar mengajar yang mengubah perspektif monokultural
yang esensial, penuh prasangka dan diskriminatif ke perspektif multikulturalis
yang menghargai keragaman dan perbedaan, toleran dan sikap terbuka. Perubahan
paradigma semacam ini menuntut transformasi yang tidak terbatas pada dimensi
kognitif belaka. Dunia pendidikan tidak boleh terasing dari perbincangan
realitas kecendrungan konflik kekerasan rasial masa depan tersebut. Bila tidak
disadari, jangan-jangan dunia pendidikan turut mempunyai andil dalam
menciptakan kekerasan-kekerasan yang berimplikasi pada ketegangan-ketegangan
sosial. Menurut UNESCO perselisihan mungkin tidak dapat dihindari,
tetapi kekerasan bisa. Dengan pendidikan diharapkankan tertanam nilai-nilai
perdamaian atau anti-kekerasan didalam diri para peserta didik dari tingkat
dasar hingga perguruan tinggi, sehingga pada gilirannya mereka dapat
mengedapankan nilai-nilai ini dalam berbagai aspek kehidupan didalam masyarakat
tanpa melihat hambatan-hambatan kultural, agama, ras, kelompok, atau lain-lain.
Pendidikan anti kekerasan diharapkan generasi penerus dapat memahami,
menganalisis, menjawab, masalah-masalah yang dihadapi masyarakat yang
berhubungan dengan kekerasan dan dapat membangun kehidupan anti kekerasan
secara berkesinambungan, konsisten yang bersumber pada nilai-nilai moral
Pancasila sehingga cita-cita bangsa dapat terwujud perdamaian abadi anti
kekerasan
B. FOKUS
MASALAH
1.
Bagaimana
kebijakan Pendidikan terhadap peraktik kekerasan di satuan Pendidikan di
Indonesia ?
2.
Bagaimana
konsep Pendidikan Islam Multikultural dapat diimplementasikan untuk mengurangi
atau menghilangkan kekerasan di satuan pendidikan Indonesia ?
3.
Langkah-langkah
strategis apa yang dapat ditempuh untuk mewujudkan Pendidikan Islam
Multikultural untuk mencegah kekerasan di satuan Pendidikan Indonesia ?
4.
Apa
saja tantangan yang dihadapi dalam penerapan pendidikan Islam multikultural
untuk mencegah kekerasan di satuan pendidikan di Indonesia ?
C.
TEORI
1. Teori
Konflik
Menurut Wirawan, mendefnisikan konflik
sebagai proses pertentangan yang diekspresikan diantara dua pihak atau lebih
yang saling tergantung mengenai objek konflik, menggunakan pola perilaku dan
interaksi konflik yang menghasilkan keluaran konflik. [1]
Sedangkan menurut Robbins dalam buku Weni Puspita, mendefinisikan konflik ialah
suatu keadaan terjadinya pertentangan antara dua orang yang berselisih untuk
menjadi menang atau kalah. Seseorang yang
menang adalah orang yang lebih kuat dari lawannya. Ia menunjukkan mampu
mengalahkan orang lain, sedangkan lawannya atau kedua-duanya tidak mampu
meraihnya bersama-sama. [2]
Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa konflik merupakan suatu
bentuk tindakan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih, dimana tujuan dari
mereka bertikai itu tidak hanya untuk memperoleh keuntungan, tetapi juga 3 Eko
Sudarmanto, dkk, Manajemen Konflik, (Medan:Yayasan Kita Menulis, 2021), 3. 4
Weni Puspita, Manajemen Konflik, (Yogyakarta: Budi Utama, 2018), 3. 11 untuk
menundukkan saingannya dengan kekerasan atau ancaman.
Dalam aktivitas individu, dijumpai bermacam-macam konflik yang
melibatkan individu-individu maupun kelompok-kelompok. Beberapa kejadian
konflik telah diidentifikasi menurut jenisnya. Menurut Handoko, T.H membedakan
konflik menjadi 5 jenis, yaitu: (1) konflik dalam diri individu, (2) konflik
dalam individu, (3) konflik antara individu dengan kelompok, (4) konflik antar
kelompok, (5) konflik antar organisasi. [3]
2. Teori
Kekerasan
kekerasan merupakan
wujud perbuatan yang lebih bersifat fisik yang mengakibatkan luka, cacat,
sakit, atau penderitaan pada orang lain dengan unsur berupa paksaan atau
ketidakrelaan atau tidak adanya persetujuan pihak lain yang dilukai.[4]
Kekerasan menurut Mansour Fakih adalah “serangan atau invasi terhadap fisik
maupun integritas keutuhan mental psikologi seseorang”. Pandangan Mansour Faqih
menunjuk pengertian kekerasan pada objek fisik maupun psikologis.hanya saja
titik tekannyapada bentuk penyerangan secara fisik seperti melukai atau
menimbulkan luka, cacat, atau ketidaknormalan pada fisik-fisik tertentu.[5]
Halim Barkatullah menyimpulkan bahwa kekerasan menurut Mulyana W. Kusumah ada 4
(empat) kategori yang mencakup hampir semua pola-pola kekerasan yaitu : (1)
kekerasan legal; seperti seorang tentara memproleh ganjaran sebagai pahlawan
atas intensitas perilaku kerasnya dalam rangka menjalankan tugas dan sport
agresif tertentu. Contoh: tinju, serta tindakan-tindakan tertentu untuk
mempertahankan diri. (2) Kekerasan yang secara sosial memperoleh sangsi;
seperti kekerasan seksual, fisik yang terjadi pada satuan pendidikan. (3)
kekerasan rasional; kejahatan yang tidak legal tetapi tidak ada sangsi
sosialnya adalah kejahatan yang dipadandang rasional dalam konteks kejahatan
misalnya pembunuhan dalam rangka suatu kejahatan terorganisir. (4) “illegal,
nonsanctioned, irrational violence” yakni kekerasan yang tidak berperasaan,
yang terjadi tanpa adanya provokasi terlebih dahulu tanpa memperlihatkan
motivasi tertentu dan pada umumnya korban tidak kenal (dalam pembunuhan; oleh
pembunuhnya).[6]
Kekerasan
yang terjadi pada satuan pendidikan di Indonesia berada pada semua level yang
telah disebutkan di atas. Dengan berbagai macam kompleksitas masalahnya.
Menurut Jack D. Douglas dan Frances Chalut
Waksler menjelaskan bahwa kekerasan biasanya dipakai untuk menggambarkan
tindakan dan perbuatan yang sifatnya menyerang menggunakan kekuatan disik
terhadap orang lain. Tidakan kekerasan di dunia
Pendidikan yang sering terjadi adalah bullying. Bullying juga merupakan
isitilah yang sering didengar di satuan Pendidikan. Namun pada tindak kekerasan
tidak hanya kekerasan yang bersifata verbal saja seperti bullying, ada kekeran
yang bersifat fisik, seksual, pskilogis,
gender, dan lain-lain.
Pendidikan
anti kekerasan ( non-violence ) mengindikasikan sebuah proses pembelajaran dan
penanaman sikap-sikap mental yang menedepankan nilai-nilai positif. kekerasan
dalam menghadapi setiap permasalahan sosial-keagamaan dalam masyarakat.
Pendidikan ini tentunya mengubur dalam-dalam sikap egoistik (ananiya), tetapi
sebaliknya mengedepankan kepentingan seluruh masyarakat daripada kepentingan
individual atau kelompok untuk mencapai suatu kondisi harmonis di kalangan
anggota masyarakat.
3.
Teori
Pendidikan Inklusif
. “Anak-anak di
sekolah pada umumnya memiliki berbagai karakteristik individual yang berbeda,
baik dari segi fisik, mental, intelektual, ataupun sosial-emosional. Oleh
karena itu mereka juga akan mengalami persoalan belajarnya masing-masing secara
individu, dan akan mengalami berbagai jenis kesulitan belajar yang berbeda
pula, sesuai dengan karakteristik atau potensinya masing-masing.”(Suparno,
2006).[7]
Dari pernyataan diatas dapat
disimpulkan karakteristik setiap anak-anak disekolah sangatlah berbeda satu
sama lain. Dengan karakteristik yang berbeda kesulitan dalam belajarnya juga
pastinya berbeda-beda pula. Kebanyakan guru menyamaratakan metode pengajaran
tanpa melihat karakteristik anak Disinilah sebagai pendidik harus mengetahui
metode belajar yang cocok untuk karakteristik anak yang berbeda.
“Tujuan utama pendidikan inklusif bagi siswa yang memiliki hambatan
adalah keterlibatan yang sebenarnya pada tiap-tiap anak dalam kehidupan sekolah
yang menyeluruh, dengan menghilangkan hambatan-hambatan untuk belajar dan
berpartisipasi tanpa diskriminasi.”(Suparno, 2008) Dari pernyataan diatas dapat
disimpulkan merupakan sebuah upaya untuk menciptakan pendidikan yang adil dan
dapat dinikmati segala kalangan dengan menghilangkan hambatan serta halangan
belajar tanpa diskriminasi dari pihak manapun. Selain adanya diskriminasi terhadap difabel
ada juga diskriminasi terhadap perempuan dalam pendidikan.[8]
ack D. Douglas dan Frances Chalut Waksler dalam Susanti,Erna (2016)
menjelaskan
bahwa kekerasan biasanya dipakai untuk menggambarkan tindakan dan
perbuatan yang
sifatnya menyerang menggunakan kekuatan fisik
terhadap orang lain. Tindak kekerasan di
dunia pendidikan sering kita kenal dengan
istilah bullying.
Jack D. Douglas dan Frances Chalut Waksler
dalam Susanti,Erna (2016) menjelaskan
bahwa kekerasan biasanya dipakai untuk
menggambarkan tindakan dan perbuatan yang
sifatnya menyerang menggunakan kekuatan fisik
terhadap orang lain. Tindak kekerasan di
dunia pendidikan sering kita kenal dengan
istilah bullying.
Jack D. Douglas dan Frances Chalut Waksler
dalam Susanti,Erna (2016) menjelaskan
bahwa kekerasan biasanya dipakai untuk
menggambarkan tindakan dan perbuatan yang
sifatnya menyerang menggunakan kekuatan fisik
terhadap orang lain. Tindak kekerasan di
dunia pendidikan sering kita kenal dengan
istilah bullying.
4. Pembelajan
Berbasis Budaya
Secara harfiah pengertian budaya (culture)
berasal dari bahasa Latin Colere, yang berarti mengerjakan tanah, mengolah,
atau memelihara ladang. Oleh Ashley Montagu dan Cristper Dawson, kebudayaan
diartikan sebagai way of life, yaitu cara hidup tertentu yang memancarkan
identitas tertentu pula dari suatu bangsa. Sementara menurut Koentjoroningrat,
budaya adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan segala hasil karya
manusia dalam rangka khidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia
dengan cara belajar.[9]
Pada
kesempatan lain Koentjoroningrat menyebut konsep kebudayaan sebagai sistem ide
yang dimiliki bersama oleh masyarakat pendukungnya meliputi : (1) kepercayaan;
(2) pengetahuan; (3) keseluruhan nilai dan norma hubungan antar individu dalam
suatu komunitas yang dihayati, dilakukan, ditaati, dan dilestarikan; (4)
keseluruhan cara mengungkapkan perasaan dengan bahasa lisan, tulisan, nyanyian,
permainan musik, tarian, lukisan atau penggunaan lambing.[10]
Salah satu strategi belajar mengajar yang
baru dan sedang dikembangkan adalah pembelajaran berbasis budaya. Pembelajaran
berbasis budaya merupakan penciptaan lingkungan belajar dan perancangan
pengalaman belajar yang mengintegrasikan budaya sebagai bagian dari proses
pembelajaran. Pendekatan ini didasarkan pada pengakuan terhadap budaya sebagai
bagian yang fundamental dalam pendidikan, ekspresi, dan komunikasi gagasan,
serta perkembangan pengetahuan. Dalam pembelajaran berbasis budaya, budaya
diintegrasikan sebagai alat bagi proses belajar untuk memotivasi mahasiswa
dalam mengaplikasikan pengetahuan, bekerja secara kooperatif, dan
mempersepsikan keterkaitan antara berbagai bidang ilmu. Sebagai suatu strategi
belajar, pembelajaran berbasis budaya mendorong terjadinya proses imaginative,
metaforik, berpikir kreatif, dan juga sadar budaya. Pembelajaran berbasis
budaya menjadikan proses belajar sebagai arena eksplorasi bagi mahasiswa maupun
dosen dalam mencapai pemahaman dan mencapai pengertian secara rasional ilmiah
dalam bidang ilmu tertentu.
PEMBAHASAN
1.
Kebijakan Pendidikan Terhadap Kekerasan Di Satuan Pendidikan
Kebijakan
pendidikan merupakan suatu yang sifatnya esensif dan komprehensif. Kebijakan
yang dibuat ditujukan untuk mengatasi suatu permasalahan yang sifatnya pelik.
Kebijakan yang baik adalah kebijakan yang dibuat berdasarkan aspirasi dan
berpihak kepada masyarakat dan realitas yang ada, menyahuti berbagai
kepentingan dan meminimalkan adanya kerugian pihakpihak tertentu. Demikian pula
halnya dengan kebijakan pendidikan, hendaknya harus mempertimbangkan banyak
Kebijakan pendidikan yang dibuat haruslah bersifat bijaksana, dalam arti tidak
menimbulkan problematika pendidikan baru yang lebih besar dan rumit jika dibandingkan
dengan problema yang hendak dipecahkan. Kebijakan pendidikan yang dibuat
haruslah mendorong produktivitas, kualitas, dan perikehidupan bersama dalam
bidang pendidikan secara efektif dan efisienhal, karena menyangkut kepentingan
publik yang dampaknya sangat besar. Adapun kebijakan pedidikan tertuang pada :
1)
Undang-Undang
Perlindungan Anak
Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak juga mempertegas tentang perlunya pemberatan sanksi pidana
dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap Anak, untuk memberikan efek jera,
serta mendorong adanya langkah konkret untuk memulihkan kembali fisik, psikis
dan sosial Anak korban dan/atau Anak pelaku kejahatan. Hal tersebut perlu
dilakukan untuk mengantisipasi Anak korban dan/atau Anak pelaku kejahatan di
kemudian hari tidak menjadi pelaku kejahatan yang sama.[11]
2)
Peraturan
Menteri Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Teknologi (Permendikbudristek)
Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penangaan
Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.
Kemudian
melalui peraturan Mendikbudristek No. 12 Tahun 2024, kurikulum Merdeka
ditetapkan secara resmi menjadi kerangka dasar dan struktur kurikulum untuk
seluruh satuan Pendidikan di Indonesia. Kebijakan mengenai kurikulum dan
pembelajaran ini bagian dari Upaya yang lebih menyeluruh untuk meningkatkan
kualitasn Pendidikan untuk semua peserta didik terlepas dari latar belakangnya.
Kurikulum Merdeka juga memberikan kepercayaan yang lebih besar kepada guru
untuk merancang pembelajaran sesuai konteks, kebutuhan peserta didik dan
kondisi satuan Pendidikan mengingat begitu beragam kondisi satuan Pendidikan
dan daerah di Indonesia. Dan kurikulum Merdeka merupakan salah satu Upaya
pemerintah untuk menekan agar tidak meningkatnya kekerasan di satuan
Pendidikan.
2. Konsep Pendidikan Agama Islam Multikultural
Pendidikan Islam multikultural juga sebagai cara untuk mengajarkan
keragaman. Pendidikan Islam multikultural juga merupakan suatu strategi
pendidikan yang dapat diaplikasikan kepada semua jenis mata pelajaran dengan
cara pendekatan melalui perbedaan etnis, agama, bahasa, gender, kelas sosial,
ras, kemampuan serta umur agar proses pembelajaran menjadi lebih mudah.
Terdapat beberapa devinisi pendidikan Islam multikultura, diantaranya sebagai
berikut :
1) Pendidikan
Islam multikultural adalah sebuah filosofi yang menekankan pada makna penting,
legitimasi dan vitalitas keragaman etnik dan budaya dalam membentuk kehidupan
individu, kelompok maupun bangsa.
2) Pendidikan
Islam multikultural adalah menginstitusionalkan sebuah filosofi pluralisme
budaya kedalam system pendidikan yang didasarkan pada prinsip-prinsip persamaan
(equality), saling menghormati dan menerima, memahami dan adanya komitmen moral
untuk sebuah keadilan social.
3) Pendidikan
Islam multikultural adalah sebuah pendekatan pengajaran dan pembelajaran Islam
yang didasarkan atas nilai-nilai demokratis yang mendorong berkembangnya
pluralisme budaya.
4) Pendidikan
Islam multikultural merupakan sebuah komitmen untuk meraih persamaan
pendidikan, mengembangkan kurikulum yang menumbuhkan pemahaman tentang
kelompok-kelompok etnik dan menghilangkan praktik-praktik penindasan.
Pendidikan
Islam multikultural merupakan reformasi sekolah yang komprehensif dan
pendidikan dasar untuk semua anak didik yang menentang semua bentuk
diskrimninasi dan instruksi yang menindas dan hubungan antar personal didalam
kelas dan 53 memberikan prinsip-prinsip demokratis keadilan sosial.[12]
Menurut Muhammad Tolhah Hasan di dalam bukunya yang berjudul “Dinamika
Pemikiran Pendidikan Islam” mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
pendidikan Islam adalah tidak hanya terbatas pada pengertian saja, terkait
label Islam, lembaga-lembaga pendidikan seperti madrasah, pondok pesantren dan
pembelajaran ilmu agama lainnya. Pendidikan Islam mencakup semua proses
pemikiran, penyelenggaraan dan tujuan pendidikan Islam.[13]
Akar dari nilai inklusif sebagaimana
dijelaskan oleh Muhammad Tholhah Hasan dalam buku Pendidikan Multikultural
sebagai opsi untuk penanggulangan radikalisme/kekerasan yaitu, pertama
al-ta’ậruf, merupakan pintu awal adanya proses interaksi antar
individu/kelompok, tanpa memandang perbedaan warna kulit, budaya, agama maupun
bahasa. Ta’ậruf merupakan akses untuk melakukan langkah-langkah
berikutnya dalam mebangun kebersamaan kehidupan dengan damai melalui
karakter-karakter inklusif. Kedua al-Tawassuth, dalam beberapa hal Islam
membutuhkan pendekatan ini, hal ini disesuaikan dengan prinsip kemudahan dan
menghindari kesulitan. Islam harus mampu menjada untuk dapat hidup bersama
dalam berbagai macam perbedaan yang ada, dapat menjadi tempat yang dapat
menyatukan segala aktifitas individu maupun kelompok, lembaga maupun negara. Ketiga
al-Tasammuh, sifat toleransi yang merupakan sifat dasat dan karakter dalam
ajaran Islam, Islam disebut agama kasih sayang karena salah satunya memiliki
sifat toleransi. Keempat al-Ta’ậwun, salah satu karakter sosial yang
terdapat dalam ajaran islam adah sifat tolong menolong yang merupakan sifat
yang terpuji seecara universal, bangsa manapun mengakuinya sebgai sikap yang
baik, bahkan agama apapun menilainya sebagai prilaku yang terpuji. Kelima
al-Tawậzun, sikap adil atau berimbang merupakan sikap yang diajarkan pula
di dalam Islam, hal ini salah satu tujuannya adalah agar manusia tidak terjebak
pada ekstemitas dalam kehidupannya. Tidak semata-mata mengejar tujuan yang
bersifat ukhrawi saja dengan mengabaikan kehidupan duniawi atau
sebaliknya.[14]
Konsep pendidikan agama Islam multikultural
berfokus pada pengajaran dan pembelajaran nilai-nilai Islam dalam konteks
masyarakat yang beragam budaya, etnis, dan agama. Tujuan utamanya adalah untuk
membentuk individu yang tidak hanya taat beragama, tetapi juga menghormati dan
memahami keberagaman sebagai bagian integral dari kehidupan bermasyarakat.
Berikut beberapa aspek penting dari konsep pendidikan islam multikultural yaitu
(1) pemahaman nilai-nilai Islam yang universal yaitu keadilan dan kesetaraan
yang menekankan pada prinsip keadilan, kesetaraan, kedamanian dan toleransi.
Mengajarkan bahwa semua manusia terlepas dari latar belakang mereka, memiliki
hak yang sama di mata Allah Swt atau sang pencipta. Serta menjunjung tinggi
nilai kedamaian, toleransi dan saling menghormati adalah inti dari ajaran Islam
yang diajarkan dalam konteks multikulturalisme. (2) Kurikulum yang inklusif
yaitu mencakup materi yang mengajarkan tentang berbagai budaya, tradisi, dan
agama, serta bagaimana Islam berinteraksi dan berkontribusi dalam konteks
multikultural.
LANGKAH STRATEGIS
Agar progam pendidikan multikultural berjalan sesuai dengan tujuan yang
diharapkan. Yakni memberikan perspektif multikultural maka strategi yang harus
dilakukan adalah sebagai berikut: (1) Belajar bagaimana dan dimana menentukan
tujuan, informasi yang akurat tentang kelompok-kelompok kultur yang beragam (2)
Identifikasi serta periksalah aspek-aspek positif individu atau kelompok etnik
yang berbeda (3) Belajar toleran untuk keberagaman melalui eksperimentasi di
dalam sekolah dan kelas dengan praktek-praktek dan kebiasaan yang berlainan (4)
Dapatkan, jika memungkinkan pengalaman positif dari tangan pertama dengan
kelompok-kelompok budaya yang beragam (5) Kembangkanlah prilaku-prilaku yang
empatis melalui bermain peran (role playing) dan simulasi (6) Praktek penggunan
“perpective glasess”, yakni melihat suatu event babakan sejarah, atau isu-isu
melalui perspektif kelompok budaya atau lainnya (7) kembangkan rasa penghargaan
diri (self-esteem) seluruh siswa (8) Identifikasikan dan analisis streotip
budaya.[15]
TANTANGAN
Terdapat
beberapa tantangan yang menurut peneliti harus diperhatikan oleh berbagai
petinggi pegambil kebijakan dan praktisi pendidikan untuk memahami dan mencari
solusi yang tepat. Adapun tantangannya yaitu :
1) Adanya konflik
nilai dan norma budaya, serta ketakutan akan sinkretisme.
Adannya
ketidakseimbangan representasi, penolakan terhadap perubahan. Analisis ini juga
didukung oleh pendapat dari ali sodiqin yang mengatakan bahwa implikasi dari
nilai-nilai ke dalam suatu budaya akan mengalami tiga kemungkinan yaitu, pertama;
nilai tersebut diterima seluruhnya, kedua; nilai tersebut diterima
namu terjadi modifikasi sesuai dengan norma yang berlaku, ketiga; nilai
tersebut ditolak, bahkan berusaha untuk dihilangkan.[16]
Sebagian masyarakat dan pendidik mungkin memiliki panndangan yag tradisional
dan konservatif mengenai ajaran agama, yang bisa menyebabkan resistensi
terhadap konsep multikulturalisme, serta kekhawatiran bahwa mengintegrasikan
nilai-nilai multikultural dapat mengarah pada sinkretisme atau pencampuran
ajran agama yang tidak diinginkan.
2) Keterbatasan
pemahaman dan pengetahuan
Guru, siswa dan
orang tua mungkin tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang apa itu
multikulturalisme dan bagaimana itu relevan dengan pendidikan Islam. Selain
itu, Kekurangan bahan ajar yang relevan dan sumber daya pendidikan yang memadai
untuk mengajarkan nilai-nilai multikultural dalam konteks Islam.
3) Kebijaka dan
Dukungan Pemerintah.
Kebijakan yang
kurang konsisten atau kurang mendukung penerapan multikulturalisme dalam
pendidikan agama islam. Kemudian kurangnya dukungan finansial dan logistik,
keterbatasan anggaran dan sumber daya untuk mendukung program pendidikan
multikultural di sekolah.
4) Penilaian dan
evaluasi
Metode
penilaian yang tidak sesuai: penilaian yang terlalu fokus pada aspek kognitif
dan akademis tanpa mengukur pemahaman dan penerapan nilai-nilai multikultural.
Kesulitan dalam mengukur efektivitas: tantangan dalam mengukur
efektifitas program pendidikan multikultural dalam meningkatkan toleransi dan
pemahaman lintas budaya.
5) Dinamika sosial
dan politik
Polarisasi
Sosial: Polarisasi
sosial dan politik dalam masyarakat yang bisa mempengaruhi penerimaan dan
penerapan pendidikan multikultural di sekolah. Isu-Isu Keamanan: Isu-isu keamanan dan
konflik sosial yang dapat mengganggu proses pendidikan dan penerapan
nilai-nilai multikultural
KESIMPULAN
1.
Tidak semua sekolah dapat memahami dan
menerapkan kebijakan pemerintah dalam menangani tindak kekerasan di satuan
pendidikan Indonesia. Bagi sekolah yang sudah memahami kebijakan tersebut maka
akan berdampak sekolahnya aman dan kecil kemungkinan adanya tindak kekerasan
terjadi. Tetapi bagi sekolah yang tidak memahami kebijakan tersebut sangat
rawan untuk terjadinya kekerasan.
2. Prinsip dasar
pendidika agama Islama multukultural adalah kesetaraaan dan keadilan yang
menekankan pentingnya kesetaraan dan keadilan bagi semua individu, tanpa
memandang latar belakang etnis, budaya atau agama. Untuk dapat menerapkan prinsip dasar tersebut maka dibutuhkan usaha
untuk mengimplementasikannya.
3.
tujuan awal dan tujuan akhir, yaitu: Tujuan
awal pendidikan multikultural adalah membangun wacana pendidikan multikultural
dan penanaman nilai-nilai pluralisme, humanisme dan demokrasi terhadap para
pelaku pendidikan. Sedangkan tujuan akhir dari pendidikan multikultural adalah
agar peserta didik mampu memahami dan menguasai setiap materi pembelajaran
serta memiliki karakter yang kuat untuk selalu bersikap demokratis, pluralis
dan humanis.
4.
Berbagai tantangan dalam menerapka pendidikan
agama islam yang multikultural. Dimulai dari adanya perbedaan antara nilai dan
norma budaya, keterbatasan pengetahuan, kebijakan dan dukungan pemerintan serta
penilaian dan evaluasi. Hal ini kedepannya akan berdampak pada sulitnya dalam
menanggulangi tindak kekerasan di saatuan pendidikan.
A.
Saran
1.
Kebijakan
pemerintah terkait kekerasan di satuan pendidikan harus melakukan evaluasi
berkala terhadap implementasi kebijakan dan melakukan perbaika berdasarkan data
dan feedback yang diperoleh. Selain itu mekanisme pelaporan yang lebih
transparan dan melindungnan privasi pelapor serta melibatkan seluruh komunitas
sekolah, termasu siswa, orang tua, dan Masyarakat sekitar dalam Upaya
pencegaman dan penanggulangan kekerasan.
2.
Sekolah
harus memiliki kebijakan yang jelas terhadap segala bentuk diskriminasi dan
kekerasan berbasis ras, etnis, atau agama. Adakan kegiatan yang mempromosikan
interaksi antara siswa dari berbagai latar belakang, seperti festival budaya,
hari bahasa internasional, dan klub multikultural. membuat kemitraan dengan
organisasi yang mendukung multikulturalisme dan toleransi untuk mendapatkan
sumber daya dan dukungan dalam mengimplementasikan program pendidikan.
3. Melakukan
kolaborasi dengan berbagai komunitas di luar sekolah dalam menerapkan
pendidikan agama islam multikultural seperti festival budaya atau dialog antar
agama. Kemudian juga melakukan kolaborasi pendidikan terhadap orang tua siswa,
melibatkan mereka dalam menanamkan nilai-nilai multikultural.
[1] Eko Sudarmanto, dkk, Manajemen Konflik,
(Medan:Yayasan Kita Menulis, 2021), 3.
[2] Weni Puspita, Manajemen Konflik, (Yogyakarta: Budi Utama, 2018), 3.
[3] Wahyudi, Manajemen Konflik Dalam
Organisasi, (Bandung: Alfabeta, 2011), 31.
[4] Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan
Seksual, Refika Aditama, Bandung, 2001, hlm.30
[5] Mansour Faqih, Analisis Gender dan Transformasi
Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, hlm.17
[6] Fathul Jannah dkk., Kekerasan Terhadap Istri,
LKis,Yogyakarta,2002, hlm.14
[7] Suparno.
(2006). Model Layanan Pendidikan Untuk Anak Berkesulitan Belajar.
[8] Suparno.
(2008). DESAIN PEMBELAJARAN UNTUK GURU TK INKLUSIF, (2), 388–400.
[9] Gering Supriyadi, 2003, Budaya Kerja Pegawai Negeri
Sipil, Lembaga Administrasi Negara, Jakarta.
[10] Soetarno, 2004, Ragam Budaya Indonesia,
Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Perguruan
Tinggi - Dirjen Dikti - Depdiknas, Jakarta.
[11] Undang-undang
(UU) Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak
[12] Eko Setiawan, (2017) “ Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Prinsip
Pendidikan Islam Multikultural Berwawasan Keindonesiaan,” Edukasia Islamika :
Jurnal Pendidikan Islam Vol. 2, No. 1, 2017, h. 38-39
[13] Muhamamd Tolhah Hasan, (2006), Dinamika Pendidikan Tentang Pendidikan
Islam”. (Jakarta: Lantabora Press), hlm. 26.
[14] Muhammad Tholhah Hasan, (2016), Pendidikan
Multikultural Sebagai Opsi Penanggulangan Radikalisme (Malang: Universitas
Islam Malang), hlm. 60-70.
[15] Mahmud Arif, Pendidikan Islam Inklusif-Multikultural, (Yogyakarta; Jurnal
Pendidikan Agama Islam, Vol. I, Nomor I, Juni 2012), hal. 9
[16] Ali Sodiqin, (2008), Antropologi Islma: Model Dialektika Wahyu dan
Budaya (Jogjakarta: Arr-Ruzz Media Group), hlm. 117