TUHAN, MANUSIA, ALAM & PENGETAHUAN | FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

 


A.    Pengertian Filsafat

Pengertian Filsafat Filsafat berasal dari bahasa Yunani kuno “philosophia”, dari akar kata philo berarti cinta, dan sophia yang berarti kebijaksanaan atau hikmah. Jadi filsafat secara etimologi berarti Love of Wisdom (Cinta kepada kebijaksanaan atau kearifan). Bagi Socrates (469-399 SM) filsafat ialah kajian mengenai alam semesta ini secara teori untuk mengenal diri sendiri. Sedangkan menurut Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM) filsafat adalah kajian mengenai hal-hal yang bersifat asasi dan abadi untuk menghamonikan kepercayaan mistik atau agama dengan menggunakan akal pikiran.

 

Banyak sekali definisi mengenai filsafat yang dapat ditemui dalam literatur. Dalam buku ini filsafat dirumuskan sebagai ilmu yang mempersoalkan segala sesuatu dalam alam semesta ini secara keseluruhan, mendalam, dan sistematis, untuk menemukan kebenarannya yang hakiki. Definisi tersebut menegaskan bahwa filsafat sebagai sebuah ilmu, yang bersifat umum karena obyek pemikirannya mencakup segala sesuatu yang ada (realitas) dalam alam semesta ini, baik yang berkenaan dengan alam fisik dan manusia, maupun alam metafisik termasuk mengenai Tuhan pencipta alam semesta itu. Filsafat membahas hal-hal itu secara keseluruhan, artinya bukan bagian-bagian tertentu dari suatu realitas sebagaimana yang biasanya dilakukan oleh ilmu pengetahuan positif. Filsafat memikirkannya secara mendalam, sampai keakar-akar masalah yang paling dalam atau disebut juga secara radikal (radix=akar), karena tujuannya ialah untuk menemukan kebenaran yang sesungguhnya atau kebenaran yang hakiki, sekalipun kebenaran yang hakiki itu tidak mudah ditemukan atau ada yang tidak pernah dapat ditemukan. Namun dengan berpikir demikian seseorang menjadi semakin sadar akan makna kehidupan, dan pemikiran filsafat biasanya dijadikan oleh seseorang sebagai pandangan hidup atau pedoman hidupnya (way of life). Jadi filsafat bukan hanya sebagai suatu disiplin ilmu yang dapat dipelajari, tetapi juga sebagai pandangan hidup. Sebagai pandangan hidup maka filsafat melekat pada diri seseorang, yang merupakan cerminan dari kepribadiannya. Filsafat yang dianutnya menjadi landasan dan pedoman bagi setiap perbuatan dan tindakannya sehari-hari dalam hidupnya. Sekalipun seseorang tidak mempelajari ilmu filsafat namun setiap orang memiliki filsafat tertentu yang dijadikan pedoman hidupnya, karena filsafat berisi nilai-nilai kehidupan. Dengan mempelajari ilmu filsafat maka seseorang akan terbantu dalam upayanya memilih atau menentukan filsafat hidup yang cocok baginya.

 

B.    Ruang Lingkup Filsafat

Secara umum ilmu filsafat terdiri atas tiga bagian, yaitu: ontologi, epistemologi, dan axiologi.

1)      Ontologi mempersoalkan tentang yang ada atau tentang realitas (reality), dalam alam semesta ini, yang meliputi: alam (kosmos), manusia (antropos), dan Tuhan (Theos), sehingga dikenal adanya filsafat alam (kosmologi), filsafat manusia (antropologi filsafat), dan filsafat ketuhanan (theologi). Ontotologi disebut juga filsafat Metafisika karena yang dipersoalkan itu termasuk juga realitas non-fisik atau di luar dunia fisik (beyond the physic), seperti hal-hal yang gaib.

2)      Epistemologi atau teori pengetahuan, yang mempersoalkan tentang kebenaran (truth) meliputi: dasar atau sumber pengetahuan, luas pengetahuan, metode pengetahuan, dan kebenaran pengetahuan. Ada juga memasukkan logika ke dalam ruang lingkup epistemology karena logika merupakan bagian filsafat yang membahas tentang sarana berpikir logis.

3)      Aksiologi yang mempersoalkan tentang nilai-nilai kehidupan. Axiologi disebut juga filsafat nilai, yang meliputi meliputi: etika, estetika, dan religi. Etika adalah bagian filsafat aksiologi yang menilai perbuatan seseorang dari segi baik atau buruk. Estetika adalah bagian filsafat yang menilai sesuatu dari segi indah atau tidak indah. Sedangkan religi merupakan sumber nilai yang berasal dari agama atau kepercayaan tertentu. Dengan demikian, sumber nilai bisa dari manusia (individu dan masyarakat) dan bisa dari agama atau 13 kepercayaan.

Jadi, kalau ontologi adalah filsafat mengenai yang ada, maka epistemologi adalah filsafat mengenai cara mengenal yang ada, dan aksiologi adalah bagian filsafat mengenai cara menilai yang ada itu. Ontologi disebut juga filsafat spekulatif, epistemology disebut filsafat analitis, dan axiology disebut filsafat preskriptif. Jujun Soeriasumantri (1996:32), mengatakan bahwa pada mulanya pokok permasalahan yang dikaji oleh filsafat ada 5 macam, yaitu: logika, etika, estetika, metafisika, dan politik. Kemudian berkembang lagi cabang-cabang filsafat, seperti filsafat agama, filsafat hukum, filsafat ilmu, filsafat sejarah, filsafat matematika, dan filsafat pendidikan. Menurutnya, filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi atau teori ilmu pengetahuan.

 

 

EKSISTENSI TUHAN PERSPEKTIF FILSAFAT BARAT

Pertanyaan besar dalam kajian filsafat dan metafisika adalah “Apakah Tuhan itu ada?” dan “Bagaimana Tuhan itu berada?”. Dua pertanyaan ini selalu mewabah dan menghinggapi asa pemikiran para filosof (dan teolog) sejak masa Yunani kuno sampai saat ini. Sebenarnya pertanyaan dan konsep-konsep utama filsafat seperti ini telah ada ribuan tahun sebelum tercatat secara historis.[1] Sejak  untuk menjawab serta membuka dialog dengan kelompok yang bersikap indiferen terhadap kepercayaan adanya Tuhan (kaum agnostik), atau bahkan juga dengan kelompok yang menolak Tuhan secara argumentative f (kaum atheis).[2] Refleksi rasional para filosof mengenai eksistensi Tuhan antara lain bermaksud mempertanggungjawabkan penerimaan dan pengakuan adanya Tuhan sebagaimana terdapat dalam ajaran-ajaran agama seperti Islam dan Kristen. Sebab dasar setiap agama adalah faham atau keyakinan tentang Tuhan. Dengan pemahaman ini agama menghubungkan atau menyambungkan kembali manusia pada asalusul keilahiannya. Dan untuk memantapkan hubungan tersebut sangat penting adanya pandangan yang meyakinkan tentang eksistensi Tuhan. Maka meskipun dengan argumen-argumen pro eksistensi Tuhan, para filosof tidak pernah berusaha dan mampu secara sempurna membuktikan Tuhan seperti ada-Nya dan diimani, namun dengan refleksinya para filosof dapat membantu agama memahami dan mempertanggungjawabkan dasar iman dan kepercayaan manusia.

 

            Para filosof telah hadir sejak masa Yunani kuno, Helenistik (masa pengaruh Yunani), Scholastik (masa pertengahan yang cenderung kepada agama), Islam dan masa Modern hingga kontemporer dewasa ini, dan silih berganti mengajukan tesis tentang eksistensi Tuhan, filosof-filosof besar sejak Thales (636-546 SM), Pythagoras (582-507 SM) dan Socrates (469-399 SM) hingga filosof dunia kontemporer telah menoreh tinta emas filsafat dalam membangun iklim rasional dan filosofis di tengah-tengah umat manusia. Terutama filosof-filosof pro eksistensi Tuhan, antara lain: Plato (427-348 SM, Aristoteles (384- 322 SM), Anselmus (1033-1109 M), Thomas Aquinas (1225-1274 M), Rene Descartes (1596-1650 M), Benedict Spinoza (1632-1677 M), Immanuel Kant (1724-1804 M) hingga Alfred North Whitehead (1861-1947 M) adalah filosof-filosof yang patut untuk direfleksikan kembali argumen-argumen mereka tentang eksistensi Tuhan. Demikian pula para filosof besar Muslim seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusd hingga filosof Muslim kontemporer yang telah meletakkan tradisi rasional dalam menjelaskan, memahami dan mengimani eksistensi Tuhan.

 

Sejarah mencatat bahwa Plato dan Aristoteles menjadi dua filosof besar yang dianggap sebagai pendiri filsafat yang paling dikenal. Keduanya boleh jadi merupakan inspirator bagi perkembangan filsafat hingga saat ini. Meskipun masa sebelum mereka sudah terdapat banyak filosof, yang disebut dengan masa Hellenistik, sekaligus menjadi awal berkembangnya filsafat Barat, yang dimulai kira-kira pada awal abad ke VI sebelum Masehi,[3] namun pemikiran filsafat Plato dan Aristoteles lebih “membumi” dibanding para filosof lain semasanya.

1)    Eksistensi Tuhan Menurut Plato dan Aristoteles

       Plato dan Aristoteles juga merupakan dua filosof yang mencari esensi benda-benda dan apa di balik benda-benda yang merupakan urusan akal. Plato membagi dunia menjadi dua; (Pertama) “Dunia Menjadi” (World of Becoming), yang selalu berubah dan tidak permanen, (Kedua) “Dunia Ada” (World of Being), merupakan dunia ideal yang dihuni oleh “Bentuk-bentuk” ideal yang bersifat abadi dan tidak berubah.[4] Plato pula yang pertama menggunakan istilah theologia, yang telah sampai ke penggunaan modern sebagai teologi. Konsep utama Plato tentang eksistensi Tuhan yaitu forma dari Yang Baik, forma tertinggi di dunia forma telah diidentikkannya dengan Tuhan.[5]Demikian pula Aristoteles, ia memajukan konsep tentang Tuhan sebagai “Penggerak Pertama”. Tuhan adalah penggerak yang tidak bergerak, dan dengan argumen teleologis, Aristoteles menjelaskan bahwa Tuhan adalah tujuan akhir dari kosmos ini, Ia satu-satunya bentuk yang berada dalam diri-Nya sendiri dan terpisah dari bahan, Ia yang menjaga planet-planet dan bintang-bintang tetap pada jalurnya, yang mempertahankan kelangsungan hidup di alam semesta. Tuhan itu abadi dan lengkap dalam Diri-Nya sendiri. Dia seluruhnya adalah aktualitas, tujuan akhir, cita-cita dan tujuan dari semua benda yang bergerak dan mencoba mewujudkan potensinya.[6]

2)    Eksistensi Tuhan Menurut Anselmus

Anselmus adalah pemikir yang paling berarti pada abad ke-11. Ia berkeyakinan bahwa iman berikhtiar menemukan pemahaman atau pengertian. Memang bagi Anselmus iman selalu menjadi titik tolak pemikirannya, dan isi ajaran iman tidak bisa dibantah oleh alasanalasan rasional. Namun, akal budi yang sejati niscaya akan dapat mencapai kebenaran-kebenaran iman, maka orang yang beriman seharusnya juga berusaha memahami imannya secara rasional. Anselmus ingin memperlihatkan bahwa isi ajaran agama (Kristen) bisa dikembangkan berdasarkan alasan-alasan rasional, jadi tanpa bantuan otoritas lain (seperti kitab suci, wahyu atau ajaran para Bapa Gereja). Dalam bukunya yang terkenal, Proslogion,[7] menjelaskan eksistensi Tuhan dengan suatu argumen yang bisa diterima, bahkan juga oleh mereka yang tidak beriman. Berkat Kant, argumen itu kemudian menjadi terkenal dengan nama “argumen ontologis” mengenai eksistensi Tuhan. Di sini Anselmus memahami Tuhan sebagai ”sesuatu yang lebih besar dari padanya tidak bisa dipikirkan“. Dengan kata lain, bagi Anselmus Tuhan adalah “ada” tertinggi yang dapat dipikirkan manusia. Setinggi, sejauh, dan sedalam apa pun kemampuan berfikir manusia, Tuhan adalah yang paling tinggi, paling jauh dan paling dalam daripada segala sesuatu yang bisa dipikirkan manusia itu. Kalau Tuhan adalah “sesuatu yang lebih besar daripadanya tidak bisa dipikirkan“, maka secara logis mustahillah manusia masih bisa memikirkan suatu yang lain yang lebih besar dari pada Tuhan. Sebab, seandainya saja manusia sanggup memikirkan hal lain yang lebih besar dari pada Tuhan, maka Tuhan --sebagai “sesuatu yang lebih besar dari padanya tidak ada dipikirkan“-- tetap menjadi yang paling besar dari sesuatu lain yang masih bisa kita pikirkan itu. Ada dua pertanyaan yang langsung muncul, yakni: (1) apakah Tuhan yang dimengerti oleh manusia seperti itu adanya? dan (2) jika “ya“ apakah itu riil atau hanya dalam pemikiran (akal budi) saja atau serupa dengan ilusi? Terhadap pertanyaan (1), Anselmus berkata: “orang dungu menyangkalnya dengan mengatakan dalam hati: tidak ada.” Namun jika ia mendengar pernyataan bahwa: “Tuhan adalah sesuatu yang lebih besar daripadanya tidak bisa difikirkan”, ia menangkap suatu arti dari kata-kata itu, ia memahaminya, ia memikirkan onjek yang diartikan oleh kata-kata itu. Objek itu ada dalam pikirannya, bahkan kalaupun ia menganggapnya tidak ada. Kenyataan bahwa Tuhan itu bisa dimengerti, dipikirkan dan bahkan disanggah, menunjukkan bahwa Tuhan itu ada, setidak-tidaknya ada dalam pemikiran.[8]

Selanjutnya terhadap pertanyaan (2), Anselmus berkata: sebenarnya jika sesuatu itu tidak terdapat selain dalam akal budi, orang dapat memikirkan juga bahwa sesuatu tersebut terdapat juga dalam realitas, ini tingkatan yang lebih tinggi. Maksudnya, jika seseorang berpikir tentang sesuatu, maka sesuatu itu tentunya ada juga di luar akal budi atau pemikirannya itu, yakni di dalam realitas. Sebab jika tidak demikian, pemikiran tidak mempunyai onjeknya, dan suatu pemikiran tanpa objek (apapun bentuk objeknya itu) adalah sangat mustahil. Akibatnya, menurut Anselmus tidak ada kesangsian sedikitpun bahwa “sesuatu yang lebih besar daripadanya tidak bisa dipikirkan“ itu ada, baik di dalam akal budi maupun di dalam realitas.20 Anselmus mengklaim tesisnya sebagai tesis eksistensi Tuhan, yakni bahwa: (1) Tuhan adalah pengada terbesar yang dapat difahami. (2) Lebih besar untuk berada dalam kenyataan daripada hanya di dalam pikiran. (3) Maka Tuhan itu ada.

3)    Eksistensi Tuhan Menurut Thomas Aquinas

Thomas Aquinas dikenal dengan prinsip “Lima Jalan”, sebagai filosof yang hidup pada abad pertengahan yang dikenal dengan filsafat skolastik, Aquinaspun memiliki kecenderungan pemikiran yang dekat dengan agama, bahkan ia merupakan yang terbesar di antara para skolastik. Filsafatnya dikenal sebagai “Thomisme”22, Aquinas tidak menyukai Plato dan menolak bukti ontologis Anselmus, tetapi ia membuat karya-karya Aristoteles dikenal dan diterima oleh para ahli di zamannya. Di dalam karyanya ia lebih sering mengacu pada Aristoteles daripada Kitab Sucinya.

 

Jalan Pertama, Aquinas memusatkan pada kenyataan perubahan di dunia. “Sekarang segala sesuatu dalam proses perubahan diubah oleh sesuatu yang lain” ungkapnya. Kembali ke Penggerak Pertama Aristoteles, Aquinas menyimpulkan: “Bila tangan tidak menggerakkan tongkat, tongkat tidak akan menggerakkan apapun. Jadi, seseorang harus sampai pada sebab atau perubahan pertama yang dia sendiri tidak diubah oleh sesuatu yang lain, dan inilah apa yang dimengerti oleh setiap orang dengan Tuhan.”[9]

Jalan Kedua, Aquinas memusatkan pada kenyataan bahwa sebab dan akibat ada di dunia. “Sekarang bila anda menghapus suatu sebab, tulis Aquinas, anda juga menghapus akibat-akibatnya, sehingga anda tidak dapat mencapai suatu sebab terakhir, dan juga tidak sampai pada sebab pengantara, kecuali anda mempunyai sebab pertama”. Aquinas tidak dapat percaya akan suatu rantai tanpa batas dari sebab-sebab dan akibat-akibat yang merentang kembali ke keabadian, maka seseorang dipaksa untuk memperkirakan sebab pertama tertentu yang oleh setiap orang disebut “Tuhan”.

 Jalan Ketiga, Aquinas mengambil ide ada dan tiada di dalam dunia. Benda-benda ada, tetapi tidak harus ada. Lebih lagi ada suatu masa sebelum mereka ada dan akan ada waktu setelah mereka berhenti berada. Sekarang tidak mungkin semuanya seperti ini, karena sesuatu agar mejadi ada, suatu ketika tida ada, dan bila semuanya tidak harus ada, pada suatu ketika tidak ada sesuatupun yang ada. Aquinas mengklaim bahwa bila segala sesuatu di dunia dapat ada dan dapat tidak ada, maka harus ada suatu saat bila tidak ada sesuatupun yang ada. Tidak mungkin sesuatu muncul dari ketiadaan. Maka seseprang dipaksa untuk menduga adanya sesuatu yang harus ada, dan keberadaan-Nya itu bukan diberikan oleh yang lain kecuali diri-Nya sendiri, bahkan Dia sendirilah yang menjadi sebab adanya hal-hal lain. Bagi Aquinas, seperti juga Anselmus, benda-benda di dunia mempunyai eksistensi kontingen (dapat ada atau dapat tidak), tetapi hanya Tuhan yang mempunyai eksistensi niscaya (Tuhan harus ada). Seandainya Tuhan tidak ada maka tidak ada sesuatupun yang dapat ada, sebab ciptaan tergantung pada eksistensi nisacaya Tuhan agar mereka dapat ada.

Jalan Keempat, dipusatkan pada tingkat-tingkat kebaikan dan kesempurnaan di dunia. “Misalnya, benda-benda semakin panas mereka mendekati yang paling panas. Maka sesuatu adalah yang paling benar atau paling tidak paling baik dan paling mulia di antara bendabenda, dan oleh karenanya paling penuh dalam adanya”. Aquinas meneruskannya untuk mengatakan “Maka, ada sesuatu yang menyebabkan keberadaan, kebaikan, dan kesempurnaan apapun yang ada dalam benda-benda. Ini disebut “Tuhan”.

Jalan Kelima, menunjuk pada tatanan dan tujuan di dalam alam. “Sebab tingkah laku mereka hampir tidak berubah, dan praktis selalu menjadi baik; yang menunjukkan bahwa mereka benar-benar mengarah kepada satu tujuan, dan tidak hanya terjadi demikian karena kebetulan. Tidak ada sesuatupun yang tidak memiliki kesadaran mengarah pada suatu tujuan, kecuali diarahkan oleh seseorang dengan kesadaran dan pengertian; anak panah misalnya, mensyaratkan adanya seorang pemanah. Maka, segala sesuatu di alam semesta diarahkan pada tujuannya oleh seseorang dengan pemahaman, dan ini disebut “Tuhan”.

 Itulah lima jalan yang merupakan bukti-bukti ilmiah Aquinas tentang eksistensi Tuhan. Bukti-bukti Aquinas menjadi patokan dalam mendemonstrasikan eksistensi Tuhan untuk kurun waktu beberapa abad. Bahkan sekarang beberapa pemikir Kristen percaya bahwa mungkinlah untuk membentuk teologi “kodrati” yang melihat dunia dan mencoba untuk mendeduksikan Tuhan. Namun pemikiran Aquinas ini mulai mendapat serangan keras pada abad ke -18, seperti oleh David Hume (1711-1776).

4)    Eksistensi Tuhan Menurut Rene Descartes

Rene Descartes merupakan filosof rasionalis besar pertama, yang mengawali filsafatnya dengan suatu pertanyaan: Apakah ada metode yang pasti sebagai basis untuk melakukan refleksi filosofis? Untuk menjawab pertanyaan ini Descartes menjalankan apa yang kemudian dinamakan sikap keragu-raguan radikal. Dengan sikap ini ia menganggap bahwa segala sesuatu hanyalah tipuan, dan tidak mau menerima apapun sebagai sesuatu yang benar, jika tidak memahaminya dengan jelas dan terpilah-pilah. Lebih lanjut kemudian ia mempertanyakan kalau segala sesuatu diragu-ragukan secara radikal keberadaannya, ada satu hal yang sama sekali tidak bisa diragu-ragukan lagi dan harus diterima secara mutlak, yakni kenyataan bahwa “aku” yang tengah meragukan segala sesuatu ini ada. Orang bisa menyangkal segala sesuatu, namun ia tidak bisa menyangkal keberadaan dirinya sendiri. Dari sinilah muncul kesimpulan filosofisnya yang terkenal “Aku berfikir, maka Aku ada”.[10]

Lalu bagaimana manusia sampai pada penerimaan adanya Tuhan? Descartes menjelaskan dua jalan;

Pertama, secara kausal menurut skema sebab akibat. Bagi Descartes jelas bahwa manusia menemukan dalam dirinya ide kesempurnaan. Dari fakta bahwa manusia senantiasa mau mencari kebenaran yang jelas dan terpilahpilah, terungkap kenyataan bahwa ia mau mencapai kesempurnaan pengetahuan, di satu pihak, namun sekaligus juga di lain pihak, diimplikasikan bahwa dirinya sendiri yang serba terbatas ini bukanlah sumber kesempurnaan itu. Maka, kesimpulan Descartes, mesti ada penyebab pertama yang bukan “aku” dan yang menanamkan dalam diriku ide kesempurnaan tadi. Dia itulah Tuhan: Ide Tuhan bagi Descartes merupakan suatu Ide yang dimiliki manusia sebagai bawaan.

Kedua, secara ontologis menurut skema “ada=eksistensi”. Di sini Descartes mengambil alih argumen Anselmus yang disebut argumen ontologis. Tentu saja dengan menerapkan prinsip kejelasan dan keterpilahan yang Descartes temukan sendiri dalam fahamnya “cogito ergo sum, sive existo” (“aku berfikir maka aku ada, atau lebih tepat aku bereksistensi”). Kalau manusia mengatakan bahwa Tuhan itu sempurna, maka mestinya ada seseorang yang menyandang predikat ini. Tidak mungkin predikat atau sifat “sempurna” berdiri sendiri, tanpa ada kaitan apapun dengan suatu entitas yang riil eksistensinya. Maka, harus disimpulkan bahwa Tuhan itu ada dan bereksistensi. Bukan itu saja, bagi Descartes yang mengutamakan pengetahuan yang jelas dan terpilah-pilah, faham Tuhan yang sempurna ini bukan saja menyangkut kesempurnaan pengetahuan, melainkan juga kapasitas moralnya.[11] Dalam diskusi filosofis, pembuktian eksistensi Tuhan menurut Descartes yang berangkat dari kesadaran Subjek ini bukan tanpa masalah. Diakui kebenarannya bahwa pemikiran mengenai Tuhan sebagai yang maha sempurna memang tidak dapat berjalan tanpa sekaligus memikirkannya sebagai sesuatu yang bereksistensi. Namun pertanyaannya tetap: apakah cara berfikir mengenai Tuhan semacam itu sungguh menunjukkan secara meyakinkan kenyataan objektif adanya Tuhan, atau hanya merupakan suatu kemungkinan (bukan keniscayaan) bahwa Tuhan itu ada.

5)    Eksistensi Tuhan Menurut Benedict Spinoza

Benedict Spinoza memulai filsafatnya dari pengertian “Substansi”. Ini seolah-olah menjawab problem filsafat Descartes tentang bagaimanakah Tuhan, jiwa dan dunia material bisa dipikirkan sebagai satu kesatuan utuh? Spinoza menjawab persoalan ini. Ia mendefinisikan substansi sebagai ”sesuatu yang ada dalam dirinya sendiri dan dipikirkan oleh dirinya sendiri, artinya: sesuatu yang konsepnya tidak membutuhkan konsep lain untuk membentuknya”.[12] Jadi, substansi adalah apa yang berdiri sendiri dan ada oleh dirinya sendiri, sebab bahkan dari konsepnya pun ia tidak bisa bergantung pada sesuatu yang lain. Spinoza membedakan substansi dengan atribut, yakni: sifat atau ciri corak yang melekat pada substansi, dan karenanya tergantung padanya. Sifat substansi adalah abadi, tidak terbatas, mutlak (artinya: sama sekali tidak tergantung pada yang lain) dan tunggal-utuh. Menurut Spinoza, hanya ada satu yang memenuhi semua denfinisi ini: yakni Tuhan, hanya Tuhan yang mempunyai sifat abadi, tidak terbatas, mutlak, tunggal dan utuh. Implikasinya jelas, Spinoza menolak Tuhan yang bersifat personal. Selanjutnya, Spinoza mengajarkan kalau Tuhan adalah satu-satunya substansi, maka segala yang ada harus dikatakan berasal daripada–Nya. Ini berarti, semua gejala pluralitas dalam alam baik yang bersifat jasmaniah (manusia, flora dan fauna, bintang gemintang dan lain sebagainya) maupun yang bersifat rohaniah (pemikiran, perasaan, bahkan kehendak) bukanlah hal–hal yang berdiri sendiri, melainkan tergantung “ada”-nya secara mutlak pada Tuhan. Untuk menyebut semua gejala ini, Spinoza sendiri memakai istilah modi. [13] Maka, semua realitas dan gejala yang biasa ditemukan dalam alam hanyalah modi saja dari Tuhan sebagai substansi tunggal. Dengan kata lain, alam dengan segala isinya adalah identik dengan Tuhan secara prinsipiil. Kata kunci ajaran Spinoza yang terkenal adalah “Deus sive natur” (Tuhan atau alam). Yang berbeda hanyalah sudut pandang atau istilahnya saja. Sebagai Tuhan, alam adalah “natura naturans” (Alam yang melahirkan). Sebagai dirinya sendiri, alam adalah “natura naturada” (alam yang dilahirkan). Substansinya sama dan satu: Tuhan atau (juga) alam. Spinoza membantah ajaran Descartes bahwa realitas seluruhnya terdiri dari tiga substansi(Tuhan, jiwa dan materi), bagi Spinoza hanya ada satu substansi saja, yakni Tuhan/alam, selain itu persoalan dualisme dalam filsafat Descartes berhasil juga diatasi, menurut Spinoza Descartes keliru memandang pemikiran (hakikat jiwa) dan keluasan (hakikat tubuh) sebagai dua substansi yang berada pada manusia. Yang benar, menurut Spinoza, jiwa/pemikiran dan tubuh/keluasan bukanlah dua substansi, melainkan dua aktribut ilahi, yakni dua dari sekian banyak sifat Tuhan/alam yang bisa di tangkap manusia.[14]

6)    Eksistensi Tuhan Menurut Immanuel Kant

Immanuel Kant adalah filosof yang paling berpengaruh dalam sejarah filsafat modern. Kant terkenal dan berpengaruh berkat filsafat moral dan hubungan antara moral dan eksistensi Tuhan. Apa hubungan moral dengan Tuhan? Kant mempunyai beberapa variasi jawaban atas satu pertanyaan ini. Di sini akan disampaikan dua ajaran Kant yang terkenal tentang hal itu.

Pertama, Tuhan dan suara hati. Kesadaran moral mulai dengan kewajiban yang mutlak sifatnya. Kewajiban yang mengikat seperti ini hanya mungkin dibebankan kepada manusia oleh seorang pribadi lain yang juga bersifat mutlak. Pribadi itu tentunya bukan manusia, sebab manusia adalah makhluk terbatas. Maka, kesadaran moral dan suara hati mengandaikan adanya seorang pribadi yang perintah-Nya wajib ditaati. Pribadi itu adalah Tuhan. Dengan bertindak moral dan dengan mengikuti suara hati, manusia mengakui kehadiran Tuhan. Kesadaran akan kehadiran Tuhan ada di luar jangkauan pemikiran murni yang bersifat teoretis. Dalam suara hati, manusia sadar akan tuntunan dari Tuhan yang memberi dan menjamin hukum abadi. Bagi Kant, suara hati adalah kesadaran akan suatu otoritas yang secara mutlak mengikat manusia pada kewajibannya, sedangkan Tuhan adalah instansi moral yang memberi kepada manusia kemutlakan pemerintah kewajiban suara hatinya.

 Kedua, Tuhan dan tujuan moralitas. Bagi Kant, kesadaran moral mewajibkan manusia untuk mengupayakan “kebaikan tertinggi” (summum bonum) atau kebahagiaan sempurna.[15] Namun kebaikan tertinggi atau kebahagiaan akhir itu, menurut Kant, tidak pernah terealisasi di dunia ini karena adanya kejahatan. Kalau memang demikian, maka yang menjadi persoalan adalah: Apakah perbuatan moral manusia di dunia ini akan sia – sia saja, sebab cita-cita atau tujuan moralitas itu tidak mungkin tercapai, padahal justru itu yang wajib dikejar? Jawaban Kant adalah agar kebaikan moral manusia dengan kebahagiaan sempurna itu berhubungan, manusia harus menerima adanya postulat ini: kebebasan kehendak, keabadian jiwa dan adanya Tuhan. Mustahillah suatu kewajiban moral tanpa kebebasan kehendak; hukum moral adalah hukum yang di dalamnya manusia bertindak berdasarkan prinsip yang diyakininya sendiri dan justru karena kebebasan kehendaklah manusia bisa berbuat. Keabadian jiwa menyebabkan manusia sebagai pelaku tindakan moral bisa mencapai “kebaikan tertinggi” atau kebahagiaan sempurna yang tidak mungkin dicapainya di dunia ini. Dan akhirnya, Tuhan adalah pribadi yang menjamin bahwa orang yang bertindak baik demi kewajiban moral akan mengalami kebahagiaan sempurna. Dengan kata lain, kebahagian ini disediakan Tuhan untuk manusia yang bertindak baik secara moral. Kalau Tuhan disangkal eksistensinya, moralitas akan absurd, sebab ”nasib” manusia yang hidupnya baik secara moral akan sama saja dengan “nasib” manusia yang jahat. Lalu, untuk apa manusia masih mau susah-susah hidup baik?[16]

7)    Eksistensi Tuhan Menurut Alfred North Whitehead

Whitehead pada awalnya mengkritik realitas materialisme ilmiah (scientific materialism). Ia mengedepankan ide tentang entitas aktual sebagai alternatif konsep substansi doktrin materialisme, entitas aktual berfungsi sebagai realitas final yang terus berproses menuju kebaruan dengan bantuan entitas-entitas aktual lainnya, sehingga antara satu entitas aktual dengan entitas aktual lainnya terjadi interkoneksi dan interdependensi yang saling berelasi. Menurutnya materialisme ilmiah telah memilah-milah realitas atas partikel atomis, sehingga penjelasan tentang realitas dilakukan dengan hanya merujuk kepada elemenelemen material yang terikat pada ruang dan waktu, pada hakikatnya realitas bukanlah sekedar satuan material yang terikat pada ruang dan waktu, karena unsur-unsur realitas saling terjalin, merujuk dan membentuk satu kesatuan yang utuh.[17] Teori entitas aktual ini kemudian melahirkan teori prehensi (prehension), yakni fakta bahwa adanya keterjalinan antara unsur-unsur yang ada di alam. Ini merupakan suatu cara pandang terhadap adanya pengaruh-pengaruh kausal dari masa lampau sebagai bagian dari esensinya sendiri dalam membentuk entitas aktual. Setiap prehensi dapat dianalisis menjadi tiga faktor utama, yakni (1) subjek yang berprehensi, yakni entitas aktual yang padanya prehensi tersebut menjadi suatu elemen kongkrit, (2) data awal yang ditangkap atau diterima melalui prehensi yang bersangkutan, dan (3) forma subjektif, yaitu reaksi internal si subjek terhadap data yang ditangkap.

         Konsep ketuhanan berikutnya yang mempunyai kedudukan penting dalam sistem metafisika Whitehead adalah objek-objek abadi. Objek-objek abadi memiliki hakikat yang abstrak, yaitu pola-pola hubungan yang tetap, abadi, tidak terikat oleh ruang dan waktu, bersifat objektif dan merupakan prinsip-prinsip umum (a general principle). Ia mencontohkan tentang dirinya, ketika berfikir ia mulai dengan suatu konsep, baru kemudian memilih kata-kata sebagai perwujudannya, seperti ungkapannya; “saya tidak berfikir dalam katakata, saya mulai dengan konsep-konsep, baru kemudian memunculkannya dalam bahasa dan kata-kata yang sering kali sangat sulit.”

   Kreativitas adalah elemen pemikiran metafisis Whitehead berikutnya setelah kedua elemen di atas, konsep kreativitas (creativity) sebagai aktualisasi potensi, yang merupakan penghubung dan pemersatu kedua elemen metafisis sebelumnya. Kreativitas adalah landasan metafisika filsafat organism dan merupakan suatu bentuk aktivitas sintesis yang membentuk kesatuan alam semesta. Tuhan adalah sebuah fakta lengkap yang sistematis, sebagai entitas aktual non temporal, yang dalam bahasa agama-agama dirasionalisasikan dengan sebutan Tuhan. Dalam filsafat proses,36 Tuhan sebagai pencipta diartikan bahwa Tuhan menjadi asal mula atau pangkal yang dari-Nya memberikan adanya aktivitas kreativitas, dan Tuhan merupakan sifat-sifat yang primordial dan abadi. Alam semesta merupakan sesuatu yang organis dan kreatif, dan menurutnya kreativitas alam berlangsung melalui empat tahapan, (1) fase konseptual, tidak aktual dan tak terbatas. (2) fase temporal, berupa keaneka ragaman aktualitas, di sini aktualitas sepenuhnya tercapai, namun sifat solidaritasnya satu sama lainnya belum terlihat. (3) fase aktualitas sempurna, di mana keanekaragaman menemukan kesatuannya yang abadi tanpa kehilangan identitas individualnya, dan (4) fase selesainya aktifitas kreativitas, di mana aktualitas yang telah sempurna yang mempengaruhi dunia temporal. Kreativitas dan Tuhan merupakan elemen yang berbeda, tetapi saling merujuk. Tuhan memberikan karakter aktual kepada kreativitas dan ditentukan serta dibatasi oleh Tuhan, kreativitaslah yang akan mempertemukan kembali semua pasangan yang kontras, yang tetap dan yang berubah, yang satu dan yang banyak, Tuhan dan dunia. Eksistensi Tuhan adalah irasional terakhir, Tuhan bukanlah realitas kongkrit, tetapi Dia menjadi dasar bagi setiap aktualitas yang kongkrit. Hakikat-Nya tidak dapat dijelaskan, sebab hakikat-Nya itu justru menjadi dasar rasionalitas. Tuhan adalah dipolar, dia merupakan sesuatu yang beraspek awali (primordial) dan sekaligus beraspek akhiri (consequent). Sebagai aspek awali, objek-objek abadi secara independen dalam hakikat primordial Tuhan, dan sebagai aspek akhiri, realitas Tuhan meliputi semua pengalaman fisik. Penjelasan panjang lebar mengenai aspek awali dan akhiri ini menggambarkan kesempurnaan Tuhan, kesempurnaan Tuhan bukan karena Dia transenden, tapi justru kesempurnaan-Nya ditemukan keterbukaan dan keterkaitan-Nya dengan dunia. Dia yang membuka keagungan-Nya kepada semua ciptaan-Nya.37 Pengertian yang dapat diungkapkan dari apa yang terkandung dalam konsep Whitehead tentang hubungan Tuhan dan alam, antara lain: (1) Memperlihatkan bahwa antara Tuhan dan alam mempunyai keterkaitan, hubungan korelatif dalam proses harmonisasi, (2) memperlihatkan hubungan Tuhan dan alam dalam dua proposisi sekaligus, Tuhan sama dengan alam dan Tuhan tidak sama dengan alam, (3) hubungan Tuhan dengan alam tidak bisa digambarkan secara linear, melainkan dalam kategori proses, dan (4) hubungan Tuhan dan alam terbentuk dengan keserasian dan keseimbangan, sehingga secara spiritual menghidupkan kesadaran spiritual yang inheren dalam diri manusia dalam membangun hubungan timbal balik dengan sesama dan alam sekitar, atau dapat disebutkan sebagai usaha untuk mengedepankan etika lingkungan dalam melihat alam semesta.


 

MANUSIA PERSPEKTIF FILSAFAT BARAT

            Berbicara tentang hakikat manusia, akan mengarahkan kita kepada pertanyaan penting dan mendasar tentang manusia, yaitu apakah manusia itu ?

 

            Untuk menjawab pertanyaan itu mari kita lihat beberapa definisi tentang manusia. Beberapa ahli filsafat seperti socrates misalnya, menyebutkan bahwa manusia sebagai Zoon Politicon atau hewan yang bermasyarakat, dan Maz Scheller menyebut manusia sebagai Das Kranke Tier atau hewan yang sakit yang selalu bermasalah dan gelisah.[18] Ilmu-ilmu humaniora termasuk ilmu filsafat telah mencoba menjawab pertanyaan mendasar tentang manusia itu, sehingga teradapat banyak rumusan atau pengertian tentang manusia. Selain yang telah disebutkan di atas, beberapa rumusan atau definisi lain tentang manusia adalah sebagai berikut :[19]

1.     Homo Sapiens atau makhluk yang mempunya budi.

2.     Homo Faber atau tool making animal yaitu Binatang yang pandai membuat bentuk peralatan dari bahan alam untuk kebutuhan hidupnya.

3.     Homo economicus atau makhluk ekonomi.

4.     Homo Religious yaitu makhluk beragama.

Homo Laquen atau makhluk yang pandai menciptakan bahasa dan menjelmakan pikiran dan perasaan manusia dalam kata-kata yang tersusun.

 

Di samping itu masih ada ungkapan lain tentang definisi manusia, di antaranya, menurut pendapat Aristoteles manusia sebagai animal rationale (hewan yang rasional atau berpikir), animal symbolicum (hewan yang menggunakan symbol) dan animal educandum (hewan yang bisa dididik). Tiga istilah terakhir ini menggunakan kata animal atau hewan dalam menjelaskan manusia.

Untuk lebih jelasnhya berikut kami lampirkan pendapat para tokoh filsafat barat tentang diantaranya pendapat yaitu :

1.     Plato

Ia memandang manusia terdiri dari jiwa dan tubuh. Dua elemen manusia ini memiliki esensi dan karakteristik yang berbeda. Jiwa adalah zat sejati yang berasal dari dunia sejati, dunia idea. Jiwa tertanam dalam tubuh manusia. sementara tubuh manusia adalah zat semu yang akan hilang lenyap bersamaan dengan kematian manusia. sedangkan ide tetap abadi. Sesuatu yang abadi terperangkap di dalam sesuatu yang fana, itulah nasib jiwa. Tubuh adalah penjara bagi jiwa. Sebagai zat yang berasal dari dunia idea, jiwa selalu ingin kembali ke dunia sejati itu. Manusia yang bagian sejatinya adalah jiwa yang terperangkap dalam tubuh, selalu merasa tidak bebas selama tubuhnya mengungkung jiwanya. Untuk membebaskan jiwa dari dunia fana dan kembali ke dunia idea, manusia harus memenuhi dirinya dengan hal-hal yang menjadi sifat utama dari jiwa. Sifat utama itu adalah rasionalitas, keutamaan moral dan kabajikan selama hidup di dunia ini.

2.     Thoman Aquinas

Thomas mengajarkan bahwa pada mulanya manusia mempunyai hidup kodrati yang sempurna dan diberi rahmat tuhan. Ketika manusia jatuh ke dalam dosa, rahmat tuhan (rahmat adikodrati) itu hilang dan tabiat kodrati manusia menjadi kurang sempurna.Manusia tidak dapat lagi memenuhi hukum kasih tanpa bantuan rahmat adikodrati.

3.     Augustinus

Menurut Augustinus manusia perlu mengendalikan nafsu seksnya. Ia juga telah merasakan bagaimana menahan nafsunya, saat ia memutuskan untuk bertaubat.Menurutnya manusia juga mempunyai kuasa untk berkehendak seperti tuhan. Tetapi terkadang manusia menggunakan kehendak itu dengan cara yang salah, seperti mengatakan kata-kata kotor dan fitnah.


 

ALAM PERSPEKTIF FILSAFAT BARAT

Kata kosmologi berasal dari bahasa Yunani yang berarti bumi, yang tersusun menurut peraturan dan bukan yang kacau tanpa aturan[20]. Kosmos juga berarti alam semesta.2 Alam semesta berarti jagat raya, kemudian jadi cabang ilmu kosmologi yang memandang alam semesta sebagai suatu keseluruhan integral.[21] Sedangkan kosmos secara literal berarti tatanan dan keindahan. Alam semesta atau disebut bumi adalah suatu planet di dalam tata surya yang mengitari matahari. Sejak jaman dahulu orang ingin menerangkan alam semesta. Penyelidikan antariksa sudah dikerjakan oleh bangsa Yunani kuno, dan penyelidikan itu berkembang terus hingga sekarang dengan menggunakan peralatan dan pengetahuan yang tinggi.

 

1.     Pandangan Yunani Kuno

Pada waktu dahulu, orang Yunani mengira bahwa bumi dan langit sangat dekat, dan bumi adalah sangat kecil bila dibandingkan dengan langit. Mereka beranggapan bahwa bumi itu diatur oleh para Dewa, diantaranya, Dewa Zeus sebagai Dewa guntur, dan Dewa Helius sebagai Dewa matahari.

Anggapan itu makin lama, makin tidak lagi diikuti oleh masyarakat, karena pengamatan yang lebih teliti oleh orang-orang dijamanya. Pythagoras yang hidup 2500 tahun yang lalu menyatakan bahwa bumi seperti bola yang tanpa ujung dan pangkal. Sedangkan Aristoteles seorang ahli filsafat yang hidup 200 tahun setelah Pythagoras mencoba menerangkan tentang peredaran bulan, venus, mars dan planet lain. Aristoteles berpendapat bahwa di atas bumi terdapat delapan langit yang terdiri dari Kristal kaca tembus cahaya. Langit bulan yang beredar pada bumi dianggap terikat pada bumi merupakan langit yang terdekat. Kemudian diatasnya terdapat langit mercurius dan venus, diatasnya lagi terdapat langit matahari, langit mars, langit yupiter dan langit saturnus. Sedangkan bintang-bintang terdapat pada langit kedelapan.[22]

 

Ptolomeus seorang ahli filsafat Yunani lain yang hidup 100 tahun setelah Aristoteles menyusun teori baru mengenai kosmos dan ia mengajarkan kepada para pengikutnya bahwa benda-benda langit itu semua beredar mengelilingi bumi pada ruang yang kosong.

Pandangan Lebih Maju Dari Yunani Copernicus lahir di Torum- Polandia (1473-1543) setelah bertahun-tahun menyelidiki bintang dan planet-planet, ia menarik kesimpulan bahwa hanya bulan saja yang benar mengelilingi bumi, sedangkan planet lain tidak, tetapi semuanya beredar mengelilingi matahari. Galileo Galilei yang pada jamanya telah ditemukan teleskop sebagai alat yang sangat penting bagi pengamatan benda-benda langit. Pada tanggal 7 januari 1610 dengan menggunakan teleskop menemukan bahwa Jupiter bukan hanya sebuah titik cahaya kecil, melainkan berupa sebuah bola besar dengan empat buah pengiringnya. Ia menemukan jalur hitam di permukaan bulan dan diduga laut atau samudra. Dia juga membenarkan teori Copernicus, karena dia menyetujui Copernicus, maka dia di hukum (dipenjara) oleh pengadilan gereja sampai meninggal.[23]

Mengenai terjadinya alam semesta, George Ganow berpendapat pada saat-saat permulaan dari timbulnya alam semesta ini adalah bahwa semua massa (benda-benda) yang akan membentuk alam semesta seperti galaksi-galaksi, semua nebula, gas-gas, matahari, bintang-bintang, seluruh planet dan satelit serta zat-zat kosmos lainya, berkumpul menjadi satu di bawah tekanan yang maha tinggi dan sangat kuat, sehingga menyebabkannya pecah dan runtuh berantakan (collase). Hal ini yang disebut meledak dengan berkeping- keping. Kepingan-kepingan itu akhirnya menjadi bintang-bintang, matahari, planet-planet, satelit-satelit, galaksi, nebula dan benda benda semesta lainya bertaburan memenuhi ruang kosong.[24] Dengan anggapan dasar bahwa hanya satu macam hukum alam yang berlaku untuk seluruh alam semesta, maka tata surya sebagai satu bagian alam semesta dalam skala kecil dianggap mewakili alam semesta yang maha besar, untuk mengajukan hipotesis-hipotesis yang sejalan dengan terjadinya alam semesta. Dari kosmologi yang telah maju dikemukakan teori tentang terjadinya alam semesta, dimana teori-teori itu dapat dikelompokan manjadi tiga teori utama. Sejak tahun 1940-an alam semesta telah diterangkan dengan tiga teori. Ketiganya telah sepakat mengenai satu azas yang sama, bahwa alam semesta itu memuai. Ketiga teori itu adalah:

Pertama Teori Big Bang. Gagasan big bang didasarkan pada alam semesta, yang berasal dari keadaan panas dan padat yang mengalami ledakan dahsyat dan mengembang. Semua galaksi dialam semesta akan memuai dan menjauhi pusat ledakan. Pada teori big bang, alam semesta berasal dari ledakan sebuah konsentrasi materi tunggal beberapa tahun lalu yang secara terus menerus berekspansi, sehingga pada keadaan yang lebih dingin. Beberapa helium yang ditemui dalam bintang-bintang sekarang kemungkinan berasal dari reaksi nuklir dalam bola api kosmik yang padat.[25]

Kedua, Teori keadaan tetap (steady state theory). Meskipun model big bang (dentuman besar) merupakan hipotesis yang paling mungkin dalam mendiskusikan asal-usul alam semesta, tetapi teori lain juga telah diusulkan, misalnya teori keadaan tetap, yang diusulkan pada tahun 1948 oleh H Bondi T Gold, dan F Hoyle dari universitas Cambridge, menurut teori ini, alam semesta tidak ada awalnya dan tidak akan berakhir. Alam semesta akan terlihat seperti sekarang. Materi secara terus menerus datang berbentuk atom-atom hidrogen dalam angkasa yang membentuk galaksi baru dan mengganti galaksi lama yang menjauhi kita dalam ekspansinya.[26]

Berdasarkan asumsi tersebut Bondi dan Gold mengaggap segala sesuatu di alam semesta ini kelihatanya tetap sama meskipun galaksi- galaksi saling menjauh satu dengan yang lain. Hal itu di duga karena materi di alam semesta dapat terbentuk terus menerus dalam ruang kosong dengan kecepatan yang cukup untuk mengganti materi yang berpindah. Pendapat ini ditunjang oleh kenyataan, bahwa tiap- tiap galaksi terbentuk (lahir), tumbuh, menjadi tua dan akhirnya mati pada saat bintang-bintang yang mendukung galaksi itu berevolusi mencapai keadaan bajang putih atau disebut juga katai putih. Dengan terbentuknya materi-materi baru, maka menurut teori ini. Alam semesta tak terhingga besarnya dan tak terhingga tuanya, atau dengan kata lain tanpa awal dan tanpa akhir.

Ketiga. Teori Osilasi (Oscillating Theory). Teori osilasi menduga bahwa alam semesta tidak ada awal dan tidak ada akhirnya. Dalam model osilasi dikemukakan bahwa sekarang alam semesta tidak constant, melainkan berekspansi yang dimulai dengan dentuman besar (big bang), kemudian beberapa waktu yang akan datang gravitasi mengatasi efek ekspansi ini, sehingga alam semesta akan mulai mengempis (callapse) akhirnya mencapai titik koalis (gabungan) asal, dimana temperatur dan tekanan yang tinggi akan memecahkan semua materi ke dalam partikel-partikel elementer (dasar), sehingga terjadi dentuaman besar baru dan ekspansi mulai lagi.

Untuk dapat menerima model-model kosmologi yang telah dikemukakan oleh para ahli, para astronomi terus melakukan pengujian terhadap model-model tadi, atau berusaha memberikan penjelasan yang lebih mudah diterima oleh akal pikiran manusia. Hal itu disebabkan bahwa pembuktian model-model kosmologi tidak dapat dinantikan sampai terjadi perubahan pada masa mendatang yang relatif lama.


 

ILMU PENGETAHUAN PERSPEKTIF FILSAFAT BARAT

 

1.     Filsafat Ilmu Pengetahuan

 

Dalam makalah ini filsafat ilmu pengetahuan dirumuskan sebagai cabang filsafat yang mempersoalkan secara menyelu- ruh dan mendasar mengenai segala masalah yang berhubu- ngan dengan ilmu pengetahuan, khususnya mengenai hakekat ilmu pengetahuan, sumber ilmu pengetahuan, metode ilmu pengetahuan, dan kebenaran ilmu pengetahuan.

Kata epistemologi untuk filsafat ilmu pengetahuan berasal bahasa Yunani episteme (pengetahuan) dan logos (ilmu). Dalam literatur dijumpai bahwa ada yang menggunakan istilah filsafat ilmu dan ada pula yang menggunakan istilah filsafat ilmu pengetahuan. Keduanya tidak berbeda secara prinsipil, namun untuk buku ini dipergunakan istilah filsafat ilmu pengetahuan (filsafat sains). Sebagai perbandingan, berikut ini dikemukakan beberapa definisi mengenai filsafat ilmu pengetahuan.

Cornellius Benjamin (dalam Runes: Dictionary of Philosophy, 1975:55). Filafat Ilmu ialah cabang filsafat yang merupakan telaah yang sitematis mengenai sifat dasar ilmu, khususnya metode-metodenya, konsep-konsepnya, dan prasangka- prasangkanya, serta letaknya dalam kerangka umum dan cabang-cabang pengetahuan intellektual.

The Liang Gie (Pengantar Filsafat Ilmu, 1977:61). Filsafat Ilmu ialah segenab pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Landasan dari ilmu itu mencakup konsep-konsep pangkal, anggapan-anggapan dasar, asas-asas permulaan, struktur- struktur teoritis dan ukuran-ukuran kebenaran ilmiah. Filsafat ilmu merupakan suatu bidang pengetahuan campuran yang eksistensi dan pemekarannya bergantung pada hubungan timbal balik dan saling pengaruh antara filsafat dan ilmu.

Jujun Suriasumatri (Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar, 1996:33) Filsafat ilmu adalah bagian filsafat epistemologi yang secara spesifik mengkaji hakekat ilmu (pengetahuan ilmiah), yang ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai hakekat ilmu, baik yang mengenai pertanyaan ontologis, maupun pertanyaan epistemologis dan axiologis tentang ilmu.

 

2.   Ruang Lingkup Filsafat Ilmu Pengetahuan

 

Dalam definisi-definisi tersebut di atas telah tergambarkan ruang lingkup dari filsafat ilmu pengetahuan, antara lain menyangkut konsep ilmu, sumber, metode, kebenaran, dan kegunaan ilmu pengatahuan. Berikut ini dikutip beberapa pendapat mengenai ruang lingkup filsafat ilmu pengetahuan.

Menurut Popkin and Stroll (Philosophy Made Simple, 1959) ruang lingkup epistemologi meliputi:

1.    Teori pengetahuan, yaitu tentang hakekat, dasar, dan luas pengetahuan

2.    Teori kebenaran

3.    Teori ketepatan berpikir atau Logika

Arthur Pap (An Introduction to the Philosophy of Science, 1967:vii) membagi filsafat ilmu itu atas dua macam, yaitu:

1.    Filsafat ilmu yang umum (philosophy of science in general), yaitu filsafat ilmu yang membahas konsep dan metode yang terdapat dalam semua ilmu.

2.    Filsafat ilmu-ilmu khusus (philosophy of spesific science), misalnya filsafat fisika dan filsafat psikologi, filsafat hukum, filsafat pendidikan, dll. Setiap filsafat ilmu khusus itu membahas konsep-konsep yang khusus berlaku dalam lingkungan masing-masing ilmu.

The Liang Gie (1997:83), membagi masalah yang dibahas dalam filsafat ilmu ke dalam 6 kelompok, yaitu :

1.    Masalah etimologis tentang ilmu

2.    Masalah metafisis tentang ilmu

3.    Masalah metodologis tentang ilmu

4.    Masalah logis tentang ilmu

5.    Masalah etis tentang ilmu

6.    Masalah estetis tentang ilmu.

 

3.    Guna Mempelajari Filsafat Ilmu Pengetahuan

Memperhatikan hakekat filsafat dan pentingnya ilmu pengetahuan maka mempelajari filsafat ilmu pengetahuan akan memberikan beberapa manfaat, yaitu:

a.         Melatih kita berpikir logis dan kritis terhadap kebenaran. Jadi filsafat ilmu pengetahuan sangat bermanfaat bagi mahasiswa karena dapat membantu mereka untuk semakin kritis terhadap berbagai macam teori dan pengetahuan ilmiah yang dipelajarinya. Bersikap kritis artinya kita tidak mudah saja percaya atau menerima suatu pendapat atau teori, tetapi dipikirkan dulu dengan matang Sikap kritis itu harus dikembangkan sebagai suatu cara hidup.

b.        Akan lebih menyadarkan kita kepada hakekat dan makna ilmu pengetahuan, serta mengenai metode dan prosedur pengembangan ilmu. Bagi calon ilmuan pengetahuan mengenai hal-hal tersebut sangat perlu dipelajari, khusus-nya untuk melakukan penelitian ilmiah. Mahasiswa (calon ilmuan) perlu memiliki kemampuan ilmiah, yaitu kemam- puan menganalisis berbagai peristiwa dan menjelaskan keterkaitan antara berbagai peristiwa. Dalam hubungan ini maka akan sangat membantu mahasiswa bila kelak ia bekerja sebagai apa saja (ahli hukum, wartawan, guru, teknisi, dan lain-lain) karena semua pekerjaan itu berkaitan dengan upaya pemecahan masalah tertentu.

c.         Lebih menyadarkan kita akan pentingnya peranan etika dalam pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi. IPTEK tidak hanya untuk memuaskan rasa ingin tahu tetapi juga untuk membantu manusia memecah- kan berbagai persoalan hidup, dan untuk dapat hidup dengan baik dan benar. Berbagai masalah yang timbul sebagai akibat moder-nisasi (kemiskinan, keterbelakangan, penyakit, dan lain-lain) memang dapat dipecahkan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga sangat penting peran etika di dalamnya.

J.Sudarminta (2002:26) dalam bukunya Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengatahuan, mengatakan bahwa epistemologi sangat perlu dipelajari sekurang-kurangnya karena 3 alasan, yaitu:

a.         Alasan strategis, karena pengetahuan merupakan hal yang secara strategis penting bagi hidup manusia (knowledge is power). Karena strategisnya kedudukan pengetahuan maka epistemologi sangat perlu dipelajari guna memahami bagaimana hakekat pengetahuan itu sesungguhnya.

b.      Alasan dari sudut kebudayaan, karena pengetahuan adalah salah satu unsur kebudayaan yang sangat besar peranannya bagi kehidupan manusia. Berkat pengetahuannya maka manusia mampu membudayakan alam, membudayakan

masyarakat, dan membudayakan dirinya sendiri. Karena itu mempelajari epistemologi adalah perlu misalnya untuk mengetahui bagaimana kebudayaan dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan.

c.       Alasan dari sudut pendidikan,karena pengetahuan merupakan isi pendidikan (proses pengajaran) yang diperlukan dalam upaya mengembangkan kepribadian manusia.

KESIMPULAN

Demikianlah pembahasan tentang argumen filosofis eksistensi Tuhan menurut beberapa filosof Barat. Dalam sejarah filsafat, adatidaknya Tuhan sangat sering dipersoalkan. Sehingga Blaise Pascal (1623-1662) menyebutkan bahwa keseluruhan realitas tidak bisa dijelaskan hanya dengan rasio, karena bila itu dilakukan akan terjadi banyak hal yang bertentangan. Rasio saja tidak cukup untuk memahami segalanya. Lebih penting dari rasio adalah “hati”. Dengan rasio manusia hanya bisa memahami kebenaran matematis dan ilmu alam, tetapi dengan hati, manusia akan mampu memahami kebenaran kebenaran yang melampaui semua kebenaran itu, terutama tentang Tuhan.[27]Pascal menyebutkan bahwa kaum terpelajar yang tidak percaya dan mencemooh orang sederhana yang beriman pada Tuhan, tetapi tidak pernah membuktikannya sendiri. Pascal mengajukan argumen “pertaruhan”. Menurutnya manusia dalam memutuskan menerima atau menolak Tuhan, harusnya menerima adanya Tuhan sebagaimana yang ia lakukan. Dengan pertaruhan itu, maka jika manusia yang menerima atau percaya adanya Tuhan menang (artinya Tuhan memang ada), manusia memang benar-benar memperoleh kemenangan dan menikmati hasilnya, yakni hidup bersama Tuhan yang diimaninya. Jika sebaliknya manusia yang beriman itu kalah (artinya Tuhan ternyata tidak ada), orang beriman tidak rugi apapun dan sedikitpun. Sebab sama seperti dalam setiap pertaruhan, bertaruh demi Tuhan juga menyebabkan kita menunda dulu segala kesenangan hidup, dengan hidup baik dan boleh berharap akan kemenangan nanti. Kalau ternyata orang beriman itu kalah dalam pertaruhan atau permainan, hidup baik itu sendiri sudah merupakan keutamaan yang berguna dan membahagiakan hidup manusia itu sendiri dan orang lain di dunia ini. Dan akhirnya, mengutip Karl Jaspers (1883-1969), yang mengajukan teori transendensi Tuhan, dan mengkritik “iman berdasarkan wahyu semata” dengan “iman filosofis” mengatakan bahwa : “Dogma dan syahadat itu benar bukan karena diformulasikan, melainkan karena sebaliknya: Dogma dan syahadat itu diformulasikan karena benar”.

 


 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Amsal, Bakhtiar. Filsafat Agama, Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009.

Greenspan, Louis & Stefan Anderson. Russell on Religion. Terj. Bertuhan Tanpa Agama, Esai-Esai Bertrand Russell. Yogyakarta: Resist Book, 2009.

Hick, John H. Philosophy of Religion. Temple: Temple University Press, 1973

J.J.C. Smart & J.J. Haldane. Atheisme and Theisme, Second Edition. Oxford: Blackwell Publishing, 2003

Murray, Michael J. & Michael Rea. An Introduction to The Philosophy of Religion. Cambridge, Cambridge University Press, 2008.

Nasution, Harun.Falsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang, 2003.

 Naupal. “Pemikiran Metafisis Ibn Al’Arabi dan Whitehead.” Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009

Norman L. Geisler. Philosophy of Religion. Michigan: The Zondervan Corporation, 1974.

Peterson, Michael L. & Raymond J. Vanarragon (Ed). Contemporary Debates in Philosophy of Religion. Oxford: Blackwell Publishing Ltd, 2004

Smith, Linda & William Raeper. A Beginner’s Guide to Ideas. Terj. Ide-ide Filsafat dan Agama Dulu dan Sekarang. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2004.

Sobel, Jordan Howard. Logic and Theism, Arguments For and Against Beliefs in God. Cambridge: Cambridge University Press, tt

 

Hasan Shadily, Ensiklopedi Indonesia Bagian 4, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve), h. 1887.

Loren Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT Gramedia Utama 2000), h. 499

Soendjojo Dirjosoemarto, Ilmu Pengetahuan Bumi dan Antariksa, (Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka, 2001), h. 12

Kurdi  Ismail Haji ZA, Kiamat Menurut Ilmu  Pengetahuan Dan Al-Quur’an,(Jakarta: Pustaka Amani, 1996), h. 19

Bayong Tjasyono Hk., DEA, Ilmu Kebumian dan Antariksa, ( Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), h. 49

Populer. (Cetakan ke-10). Pustaka Sinar Harapan.

J. Sudarminta (2002). Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Kuntowijoyo (2006) Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika. (Edisi kedua). Tiara Wacana. Yogya.

Langeveld, M.J. (1959). Menuju Kepemikiran Filsafat (terjemahan G.J.Claesen, Penerbit PT Pembangunan, Jakarta.

 

 

 



[1] Robert C. Solomon & Kathleen M. Higgins, A Short History of Philosophy. Terj. Sejarah Filsafat. (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2002)

[2] 1Simon Petrus L. Tjahyadi. Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan, Dari Descartes Sampai Whitehead. Cet. 5. (Yogyakarta: Kanisius, 2011)

[3] Robert C. Solomon & Kathleen M. Higgins, A Short History of Philosophy. Terj. Sejarah Filsafat. 13

[4] Robert C. Solomon & Kathleen M. Higgins, A Short History of Philosophy. Terj. Sejarah Filsafat. 104-105.

[5] 5Linda Smith & William raeper. A Beginner’s Guide to Ideas. Terj. Ide-ide Filsafat dan Agama Dulu dan Sekarang. 40.

[6] Robert C. Solomon & Kathleen M. Higgins, A Short History of Philosophy. Terj. Sejarah Filsafat. 122-123

[7] Buku ini terbit sekitar tahun 1077 dan memuat hanya satu argumen saja yang memadai dan yang bisa menggantikan banyak argumen tentang pembuktian atas eksistensi Tuhan; argumen ini diharapkan bisa merangkum ciri kemahakuasaan Tuhan. Semua ciri yang bisa dikatakan ada pada Tuhan. Dalam bab pertama, Anselmus berdo’a dengan khusyuk: “Aku bukannya mencoba menyelidiki kebesaran-Mu, ya Tuhan, sebab akal budiku sama sekali tidak sebanding dengan kebesaran-Mu itu, tetapi aku ingin sedikit memahami kebenaran-Mu yang dipercayai dan dicintai oleh hatiku. Dan aku tidak bermaksud untuk memahami agar percaya, melainkan: aku percaya agar bisa memahami. Sebab akupun mengakui juga bahwa aku tidak akan mampu memahami, kalau aku tidak percaya”. Dengan demikian, sangat jelas bahwa iman menjadi basis filosofis Anselmus. Sebagaimana dikutip oleh Simon. Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan, 25

[8] Simon. Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan, 26-27

[9] Linda Smith & William raeper. A Beginner’s Guide to Ideas. Terj. Ide-ide Filsafat dan Agama Dulu dan Sekarang. 48-49.

[10] Simon. Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan, 21

[11] Simon. Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan, 23

[12] Lihat. Simon. Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan, 29

[13] Berasal dari kata “modus” bentuk singular dari kata benda latin yang berati “cara”. Modi berarti berbagai bentuk atau cara berada dari substansi ya ng satu dan sama.

[14] Lihat. Simon. Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan, 30.

[15] Bukan kebahagian dalam empiris seperti kesenangan, kesehatan, kekayaan atau kekuasaan -- semua ini ditolak Kant sebagai dasar impreatif kategoris. Lihat. Simon. Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan, 60.

[16] Lihat. Simon. Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan, 61.

[17] Tulisan mengenai filsafat Ketuhanan Whitehead disarikan dari disertasi Naupal. Pemikiran Metafisis Ibn Al’Arabi dan Whitehead. Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009 Bandingkan dengan Simon. Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan, 129-139 dan lihat Whitehead. Religion in the Making. Terj. Mencari Tuhan Sepanjang Zaman: Dari Agama Kesukuan Hingga Agama Universal. (Bandung: Mizan, 2009).

[18] Drijarkara, Percikan Filsafat, Semarang: Kanisius, 1978, hal. 138

[19] Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bina Aksara, 2009, hal. 82, lihat juga Syahminan Zaini, Mengenal Manusia Lewat Al-Quran, Surabaya:1980, hal. 5-6

 

[20] Hasan Shadily, Ensiklopedi Indonesia Bagian 4, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve), h. 1887.

[21] Loren Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT Gramedia Utama 2000), h. 499

[22] Soendjojo Dirjosoemarto, Ilmu Pengetahuan Bumi dan Antariksa, (Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka, 2001), h. 12

 

[23] Ibid, h. 13

[24] Kurdi  Ismail Haji ZA, Kiamat Menurut Ilmu  Pengetahuan Dan Al-Quur’an,(Jakarta: Pustaka Amani, 1996), h. 19

[25] Bayong Tjasyono Hk., DEA, Ilmu Kebumian dan Antariksa, ( Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), h. 49

 

[26] Ibid., h. 5051-.

[27] 8Hati di sini tidak difahami sebagai pusat emosi, tetapi merupakan pusat aktivitas jiwa manusia yang terdalam yang mampu menangkap sesuatu secara intuitif dan spontan; hati adalah inti eksistensi. Lihat. Simon. Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan, 36.